Home » Archives for 10/12/17
TIBER: JANTUNG KOTA ABADI
CHANTAL TROPEA
B. Bahasa dan Sastra
Universitas Naples L’Orientale
Bahasa dan Budaya Timur
Abstrak
Tulisan ini membahas tentang konteks
budaya sungai Tiber bangsa Romawi sebagai bentuk penghargaan terhadap mitologi,
cerita, etnologi, dan sastra. Zaman dulu, ketika mereka membatasi dan
menetapkan, seringkali sungai-sungai membentuk batasan-batasan baik secara
simbolis maupun geografis. Sejak awal puisi menggunakan gambaran alam untuk
mengungkapkan kebutuhan komunikasi dan simbolisnya, dan mungkin tidak ada unsur
lain yang cacat dan dapat diadaptasi untuk mencapai tujuan tersebut, seperti
misalnya air, secara instrinsik kekurangan bentuk yang nyata.
Sungai dipilih sebagai sebuah rasa
kepercaya dirian penyair, sama seperti sungai yang mampu menjaga rahasia
peristiwa-peristiwa yang menjadi saksi mata. Ciri-ciri utama sungai adalah
pergerakannya dan keberlangsungannya menghubungkannya dengan cerita sastra dan
konstruksi teks-teks sastra.
Roma disebut sebagai Kota Abadi karena
takdir dunia terlihat berhubungan dengan
takdir kota dan tesis itu diperkuat oleh
sejarah dan berbagai peristiwa. Roma juga dikenal sebagai Caput Mundi karena sejak dulu kota ini menjadi ibukota “Dunia
Mediterania”. Kota abadi dapat diketahui dari sungai yang telah melahirkannya:
sungai Tiber, situs perang, pencapaian teknik mesin, jalan utama perdagangan
Mediterania. Sumber utama puisi dari mitologi hingga sastra modern adalah
mengeratkan hubungan dua kenyataan ini untuk menjelaskan kepada kita tentang
mitos, puisi, pandangan imajinasi terhadap akhirat, mengungkapkan perasaan yang
berbeda, dan sudut pandang seta selalu menunjukkan hubungan yang bertahan lama
antara Roma Cuput Mundi dan Sungai
Tiber.
Kata kunci: sungai, Tiber, Kota Abadi
dan Cuput Mundi.
PENDAHULUAN
“Demi hidup dan mati itu satu, bahkan seperti sungai dan
laut itu”
(Khalil Gibran)
Jika sungai
merupakan tempat dimana segala hal mengalir, mengubah dan
memperbarui dirinya sendiri ke dalam wujud yang tak terhenti, sangatlah mudah
dipahami bahwa di setiap zaman, para penyair menjelaskan
kembali dalam nilai-nilai yang dinamik dan
kontrastif.
Hal itu selalu berhubungan dengan antitesis rasa ingin lari
secepatnya dan regenerasi yang pada setiap tingkatannya (dari sejarah hingga eksistensial, dari lahiriah hingga
filisofi perubahannya akan menjadi sumber
inspirasi.
Sebuah
tanda awal kesuburan dan kebanggaan juga sebuah retakan jalur geologis pembatasan dan penggabungan alam dan sejarah, lingkungan
dan peradaban, kehidupan yang menyatu dengan lingkaran hidup dan kematian, sebuah
simbol gambaran ketidak sadaran. Namun, di saat yang sama sebuah gambaran
mistis terhadap keseluruhan lingkaran dominasi kesejarahan di dunia. Jadi,
sungai menawarkan tidak hanya latar belakang atau ilusi yang gamblang, tetapi juga tindakan sebagai penengah antara puisi dan
penyair. Ini menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, dan aliran sungai dapat
membantu atau menjadi bagian dari cerita. Sama halnya daftar nama-nama sungai
dan perjalanan sungai kemungkinan membentuk bagian dari struktur cerita. Puisi
dari zaman kuno hingga sekarang banyak berhutang budi pada sungai di mana air mereka mampu meramalkan udara dan bumi dalam
tulisannya.
Sungai
memiliki nilai simbolis yang penting dengan akar budaya yang kuat berdasarkan
pentingnya sungai sebagai sebuah kebutuhan hidup (Prudence, J.2005). Semua peradaban
bergantung pada ketersediaan air dan tentu saja sungai-sungai merupakan sumber
yang baik dalam kehidupan. Sungai-sungai juga menyediakan masyarakat zaman dulu
akses perdagangan bukan hanya barang, tetapi juga
ide-ide termasuk bahasa, tulisan dan teknologi. Sungai irigasi dapat digunakan
masyarakat untuk tujuan tertentu dan mengembangkannya, bahkan di area yang
kekurangan ketersediaan air hujan. Untuk budaya-budaya tertentu hal itu
bergantung pada budaya mereka sendiri, sungai merupakan jantung kehidupan. Di “awal
zaman perunggu di Levant Selatan,” di Near
Eastern Archeology, Suzanne Richard (2003) menyebutkan bahwa peradaban kuno
didasarkan pada, utamanya, kehidupan sungai dan kedua non sungai, (misal
Palestina). Anda akan melihat masyarakatnya terhubung dengan sungai-sungai
terkenal seperti Tigris, Efrat, Nil, Sungai Kuning, dan Tiber yang menjadi inti
peradaban kuno (Richard, 2003:87).
Sungai-sungai memiliki sebuah tujuan mistis yang
secara terus menerus berubah meskipun mereka terlihat sama saja. Sungai-sungai
juga tak bisa diprediksi, dan kemudian muncul berbagai cerita mitologi sungai
yang berubah bentuk, dan beberapa masalah dimana air menjadi agen perubahan.
Diceritakan bahwa Tiber merupakan sungai istimewa yang tetap menjaga kebenaran
dan mitologi dalam sejarah Kota Roma. Keterwakilan kekayaan dan semantiknya
memunculkan kekuatan ganda. Ini merupakan titik awal kekaisaran kuno yang
terbesar dan berpengaruh, secara berangsur-angsur dibanjiri oleh perluasan dan
pertumbuhan kota itu sendiri di luar perubahan klasik pada abad itu dimana
peristiwa-peristiwa yang lain mengalami kemunduran dan perbaikan, terbengkalai
dan pembangunan ulang terhadap perjalanan selama berabad-abad karena konflik
dan ketidakpastian. Sungai merupakan cerminan kota yang sensitif dan setia,
sungai memberi kehidupan. Mengabadikan sungai dalam bentuk tulisan bukan
berarti sebuah pengakuan tetap tetapi secara langsung mengganti sejarah. Pada
kenyataannya sungai itu sendiri menciptakan sejarah.
PEMBAHASAN
Pandangan
idiologis yang muncul dalam pikiran hanya menyebutkan nama Kota Roma dan
mengambil maknanya. Jika kita perhatian air Sungai Tiber gelisah dan mengalir
di bawah jembatan-jembatan kota terus menerus. Semua hal penting dalam sejarah
dipersyaratkan terhadap lokasi-lokasi yang berkaitan dengan kemenangan Roma,
Kota Aeterna, kelompok menengah, menemukan
sungai sendiri yang menjadi jantung kota itu, alasan umum keberadaannya,
konsisten terhadap berbagai aktifitas manusia dalam keseharian: yang
berhubungan dengan kebertahanan hidup, penggunaan, dan perawatan. Sungai
merupakan hubungan yang tak dapat dilepaskan untuk kemanfaatan dan kehidupan
manusia. Lebih baik mengungkapkan daripada yang lain “meneruskan” hal-hal dan
nilai-nilai dalam hubungan langsung dan interaktif antara manusia dan
lingkungan hidup itu sendiri.
“Para dewa dan manusia memilih tempat ini untuk dijadikan
kota bukan tanpa alasan: pondok-pondok yang terawat, sungai yang nyaman untuk
mengirim barang dan menerima bahan makanan dari laut, sebuah tempat dekat laut
sehingga dapat mengambil manfaat dan kesempatan tetapi bukan untuk membuka yang
menimbulkan kerusakan armada-armada asing karena terlalu dekat dengan pusat
Italia, sangat sesuai untuk peningkatan kota, jumlah yang sama yang akhirnya
menjadi bukti”.
(Cicerone, 54
A.D.)
Cicerone,
dalam tulisannya De Republica1
mengungkapkan bahwa masyarakat zaman dahulu telah waspada bahwa alasan pemilihan suatu tempat didasari oleh alasan
ekonomi. Keberadaan Sungai Tiber terhadap lahirnya sebuah kota. Servius,
komentator Roma yang hidup antara abad keempat dan kelima Masehi menunjukkan
bahwa nama Sungai Tiber pada zaman kuno berasal dari kata Rumon atau Rumen (dari ruo, atau “gulungan”), kemudian
dijadikan nama kota itu, sehingga Roma berarti “Kota Sungai” (Pallottino, 1993:
61-68).
Sungai
Tiber (dalam bahasa Italia Fiume Tevere)
merupakan sungai bersejarah Eropa dan terpanjang
di Italia setelah sungai Po, yang terlihat di lereng Gunung Fumaiolo, puncak
utama Appennino Tosco-Emiliano. Sungai ini
panjangnya 252 mil (405km), secara umum mengalir ke selatan melewati rangkaian jurang yang indah dan lembah-lembah yang luas. Sungai
Tiber mengalir melewati kota Roma dan masuk Laut Tyrrhenian Mediterania dekat Ostia Antica.
Sebuah pusaran air yang menggelora dan besar disebabkan
oleh Pulau Tiber mempengaruhi infestasi wilayah-wilayah sekitarnya yang menandai
mulai berdirinya ibukota dunia. Tiber merupakan Roma kuno yang berbatasan
dengan Etruscan masyarakat Latin. Tiber merupakan awal mula dongeng sejak awal
asal muasalnya sebagi titik lintas yang strategis.
Menurut legenda kota Roma didirikan pada
tahun 753 sebelum masehi di tepi sungai Tiber sekitar 25 km (16 mil) dari laut
di Ostia. Pulau Tiberina di pusat Roma, antara Trastevere dan pusat kuno,
merupakan sebuah situs arungan kuno penting yang kemudian di temukan. Dalam
mitologi Roma, Romulus dan Remus adalah saudara kembar berjenis kelamin
laki-laki. Peristiwa yang menyebabkan ditemukannya Kota Roma dan Kerajaan Roma
oleh Romulus. Pembunuhan Remus yang dilakukan oleh saudaranya, kisah lain dari
cerita mereka, telah mengilhami para seniman dari berbagai masa. Sejak zaman
kuno, gambaran saudara kembar telah disusui oleh serigala betina dan menjadi
sebuah simbol kota Roma dan bangsa Roma. Meskipun dongeng itu ada sebelum
munculnya kota Roma sekitar 750 sebelum masehi, cerita awal yang terkenal dari
mitos tersebut ada sebelum akhir abad ke tiga sebelum masehi. Kemungkinan dasar
sejarah cerita tersebut sama halnya dengan mitos Si Kembar yang merupakan
bagian mitos Roma asli atau yang pada
akhirnya menjadi bahan yang diperdebatkan.
Romulus dan Remus lahir di Alba Longa, salah
satu kota-kota Latin kuno dekat situs masa depan Roma. Ibu mereka, Rhea Silvia,
adalah seorang perawan dalam mitologi Roma dan
putri dari mantan raja , Numitor, yang telah digantikan oleh saudara
laki-lakinya Amulius. Dalam beberapa sumber, Rhea Silvia mengandung mereka
ketika ayah mereka, Dewa Mars, mengunjunginya di sebuah hutan kecil yang
keramat yang dipersembahkan untuknya. Dari silsilah ibu mereka, Si Kembar
merupakan keturunan dari bangsawan Yunani dan Latin.
Melihat Si Kembar sebagai penghalang
kekuasaannya, Raja Amulius memerintahkan untuk membunuh mereka dan mereka
ditinggalkan di tepi sungai Tiber supaya meninggal. Mereka diselamatkan oleh
Dewa Tiberinus, ayah sungai dan dapat bertahan hidup karena dirawat oleh orang
lain. Situs tersebut pada akhirnya menjadi Roma. Menurut sumber-sumber lain,
para pendiri Roma, mereka ditinggalkan di air sungai Tiber dimana mereka diselamatkan
oleh serigala betina, Lupa (Richard,
J.
2000:630).
Sungai
Tibet melambangkan pandangan Virgil terhadap dongengnya. Dalam epos Virgil Aeneid2, salah satu buku-buku
pendirian budaya barat, Tiber dikatakan telah mengambil kembali kekunoannya,
“benar” nama “Albula”, meskipun dengan begitu berarti membayangkan kelanjutan
sebuah kenyataan perang dan perang antar sesama untuk Roma.
Ada salah satu sebutan terhormat Tiber
di Georgics3, sebagai penjaga lebah Aristaeus menyelam ke dasar air
kerajaan ibunya Cyrene.
“...omnia sub magna labentia
flumina terra spectabat diversa locis, Phasimque Lycumque, et caput unde altus
primum se erumpit Enipeus, unde pater Tiberinus et unde Aniena fluenta…”
(G. IV, 366-369)
Beberapa
baris kutipan ini merupakan bentuk bagian penjelasan yang lebih besar, baik
pentingnya sungai maupun cerita bidadari. Tiberinus digambarkan sebagai pater karena hubungannya dengan Roma.
Bagian cerita ini dalam pengertian melayani untuk menyeimbangkan referensi
permohonan kepada air dari georgic
pertama. Kedua kiasan tersebut ditujukan bagi Tiber dan dewanya yang diperlihatkan
dalam lakon dramatis yang diperankan oleh sungai dalam penobatan pencapaian
puisi Virgil, asal mula dan identitas eposnya.
Sebutan
epinimus dewa didengungkan pada pembukaan bagian tengah kedua dari cerita
kepahlawanan, ketika para Trojan tiba di dekat muara sungai yang diceritakan,
di bagian cerita yang banyak memperlihatkan tradisi-tradisi sejarah dan sastra
terdahulu tantang pendaratan Trojan di
Hesperia4:
“…atque hic Aeneas ingentem ex aequore lucum
prospicit. hunc
inter fluvio Tiberinus amoeno
verticibus rapidis
et multa flavus harena
in mare
prorumpit…”. (A. VII, 29-32).
Ada sebuah
hutan kecil dan tepi sungai, sebuah tempat yang tenang dan tenteram. Sungai itu
sendiri juga memendam sebuah kekuatan dan kehidupan yang sangat sesuai untuk
ibukota abadi dunia sebagaimana adanya (Mynors,1969). Penting untuk diingat bahwa dalam puisi-puisi
Virgil sebagian mencoba untuk menimbulkan sebuah adegan yang berkaitan dengan
pendeta dan menyampaikan pandangan penduduk desa tentang peranan sungai-sungai
dan mata air dalam lingkaran akivitas pedesaan.
Dalam buku
VIII kisah kepahlawanan Aeneid, ada
sebuah jarak, hal keduniawian, dan perjalanan kesusastraan dimana sungai
merupakan sebuah lencana sempurna menuju ke arah kemajuan.Tiber merupakan titik pemberangkatan perjalanan Aenas di
Italia dan juga menyediakan sebuah latihan menulis dan bercerita. Namun, untuk
menghargai ramalan terkenal Tiberinus tentang takdir pencapaian Aenas tidak ada
perbedaan antara ramalan dan penyelesaiannya.
Tiberinus
berjanji untuk memandu kapal agar dapat mendayung dan melewati arus tetapi pada
akhirnya arus tersebut bergerak sendiri. Tiberinus berjanji bahwa Trojan akan
mampu mendayung ke hulu (sebuah keistimewaan arus perjalanan Tiber) dan agar
lebih mudah harus dipastikan dulu bahwa sungainya tenang. Tiberinus membantu
Aenas setelah kedatangannya di Italia dari Troy yang menyarankan kepadanya
untuk mencari sekutu dengan Evander Pallene dalam peperangan melawan Turnus dan
sekutunya. Kedewaan sungai muncul ke
Aenas dalam sebuah mimpi yang mengatakan kepadanya bahwa dia telah tiba dirumah
yang sebenarnya. Tiberinus juga menenangkan air sehingga perahu Aenas mampu
mencapai kota dengan aman (Moroford, Mark, Lenardon, Robert 1971:215). Dia dianggap sebagai salah satu dewa air
terpenting dan orang selalu melarung sesajen di
Sungai Tiber setiap bulan Mei. Tiberinus diperingati dengan 27 boneka jerami
yang disebut Argei.
Sungai
mewakili masa peralihan dari satu fase kehidupan ke fase yang lain termasuk
tata cara perjalanan hingga kematian. Sungai Tiber dikutip beberapa kali oleh
Dante Alighieri dalam puisi cerita panjang terkenal Divine Comedi, karya yang
lebih bagus dalam sastra Italia dan salah satu karya yang terbesar dalam sastra
dunia.
Pandangan
imajinatif puisi tentang akhirat dipaparkan dalam pandangan dunia pertengahan
seperti yang telah berkembang di Gereja Barat pada abad ke-14. Pandangan itu dibagi menjadi tiga bagian yakni; neraka,
api penyucian, dan surga. Api penyucian menggambarkan pengetahuan pertengahan tentang
bumi yang berbentuk bola. Dante mereferensi perbedaan bintang-bintang yang
dapat dilihat di Hemisphere selatan, pengubahan posisi dunia, dan berbagi macam
zona waktu bumi (Richard H., 2000). Berbeda dengan perahu Charon yang melintasi Acheron
dalam Inferno, jiwa-jiwa kaum Kristen
dikawal oleh Malaikat Perahu dari tempat mereka berkumpul dekat Ostia,
pelabuhan laut Roma di muara Tiber melewati pilar-pilar Herkules menyeberang
lautan menuju Gunung Penyucian dosa.
[...]”Selama
tiga bulan ini dia telah berlayar seperti yang dingainkan orang. Karena itu di
pantai laut dimana Tiber menjadi air asin, aku telah menyatu. Tepat di belakang muara sungai dia mulai
bersip-siap lagi karena orang yang tidak tenggelam dalam sungai Acheron akan
selalu terkumpul di sana”[...]
Jiwa yang menuju api penyucian berkumpul di Roma
di muara Sungai Tiber dan akan diantar oleh malaikat. Orang yang akan menuju
neraka akan dikumpulkan di Sungai Ancheron dan diantar oleh setan. Malaikat
menggunakan sayapnya dan menerbangkan kapal dengan gembira. Charon menggunakan
kayuh untuk mengayuh dan kadang-kadang memukul penumpangnya dengan kayuhnya.
Jiwa-jiwa yang diberkati akan bernyanyi serentak, jiwa yang dikutuk akan
meratap dan memaki secara tepisah (Lindskoog,1997:10).
Penyair membayangkan bahwa jiwa-jiwa yang
ditakdirkan untuk diselamatkan memperindah diri mereka sendiri di muara Sungai
Tiber, menunggu untuk disambut masuk ke dalam kendi malaikat berkulit hitam dan
mengirim mereka ke pulau api penyucian. Makna kiasan lokalisasi jelas yakni,
sebagai penentang sungai Ancheron merupakan sungai terkutuk. Tiber, secara
jelas menunjukkan keabadian kota Roma sebagai pusat agama Kristen dan sebagai
sungai yang mengumpulkan jiwa-jiwa yang berdosa untuk ditakdirkan masuk dalam
pembebasan abadi.
Sungai-sungai membantu menjelaskan identitas
masyarakat dengan berbagai tempat karena mereka adalah lencana pemandangan
karena hal itu menekankan hubungan orang-orang tertentu dengan sebuah tempat,
sehingga sungai dapat berarti memisahkan dan menghubungkan. Ini merupakan tema
yang penting bagi penulis dan penyair. Sungai Tiber cenderung menjadi pusat komunikasi
yang penting dan dari semua itu ia memiliki peran secara emosi dan budaya hidup
masyarakat Roma. Roma merupakan kota di mana semuanya saling terhubung. Jeritan para pejalan kaki
berpadu dengan ketenangan gedung-gedung bersejarah. Sungai Tiber perlahan-lahan
mengalir dan memisahkan. Kekunoan melawan dan menyatukan pembaharuan dimana perbedaan budaya-budaya
merupakan hal biasa. Selama berabad-abad Roma merupakan sebuah lambang keadaan
manusia seperti sebuah sirene Homeric, suaranya selalu mempesonakan para
penulis dan penyair dari seluruh penjuru dunia. Para penulis seperti Pirandello,
Gabriele D’Annunzio, Giuseppe Ungaretti telah melihat kota abadi dan hubungannya dengan
Tiber serta menginspirasi mereka. Para penulis tersebut telah mengembangkan rasa
yang berbeda dan mendapatkan bentu-bentuk yang berbeda dari sungai tersebut.
Melalui sejarah sastra, dari mitologi hingga awal abad 20, kota Roma dengan
sungainya mengungkapkan ciri-ciri baru.
Pirandello5 melalui puisinya memperlihatkan
konsep romantik akhir dari inti kedinginan. Penyair marah dan kecewa terhadap
gambaran baru tentang kota abadi yang telah menjadi simbol dari korupsi dan
kemerosotan, menyapu keagungannya. Dia tak dapat dihibur. Roma bukan lagi
sebuah keindahan klasik dan runtuh tanpa ada perlindungan oleh orang Roma
sendiri. Roma dirusak oleh para kurcaci pengkhianat yang membangun korupsi.
Pirandelo ingin melihat kilauan kenangan Roma kuno dan memberantas kejahatan
yakni korupsi sosial dan sipil yang mencengkeram kota.
Di tahun 1901 dia menulis Air Mata Tiber (“Pianto del
Tevere”) yang inspirasinya terlahir dari banjir Tiber pada 2 Desember 1900. Banjir
itu hampir berisi reruntuhan bangunan sepanjang antara Cestio dan jembatan
Palatine dan air yang berlumpur meluber ke kota melewati alun-alun Pantheon.
“Tak lama
lagi kau takkan bisa melihatnya, melewati kota Roma, seperti yang kulakukan,
suatu hari; Tiber lewat antara pelupuk mata alami yang bergetar [...] seperti
sebuah perbukitan dan dia turun dengan keadaan penuh perampokan, hingga
tiap-tiap gelombang mampu mengatasi sudut-sudut batas yang menyesakkan, berlari
melewati jalan-jalan bawah tanah, dia terlihat menuju Pantheon: “Apakah kamu
melihat, sisa-sisa Roma kita yang kudus? Aku masih di sini: Roma memerlukan
penyucian yang besar”
(Pianto del
Tevere,1990)
Penyair menggunakan kata ganti “kami” karena dia
merasa bagian dari kota dan “dia” merujuk pada sungai Tiber karena dia
mengumpamakan sungai dengan keabadian kota. Baginya banjir merupakan
pemberontakan dan pelaku utama puisi ini adalah ratapan sungai yang ingin
menguasai tepi sungai untuk menutupi Roma dan kelemahannya, menghapus sebuah
kota yang hanya sebuah sisa-sisa dari apa yang terjadi.
Sudut pandang yang berbeda dibangun dalam puisi6 Gabriele D’Annunzio. Roma bukan hanya sebuah
kota yang antik namun ia adalah sebuah kota yang bersinar dengan berbagai
hiasan berharga yang dimilikinya dan diantara hiasan-hiasan itu Sungai Tiber
menyatu di dalamnya. Dia tidak peduli dengan korupsi yang ada di Roma yang
membuat Pirandello khawatir tetapi dia melihat kemunduran yang sama sebagai
sebuah keindahan yang agung.
“Roma bersinar di pagi
hari pada bulan Mei dalam pelukan matahari, di atas jembatan muncullah arus
Sungai Tiber yang bersinar, lari diantara rumah-rumah hijau, sesaat kemudian,
di tanjakan muncullah kota abadi, sangat jelas terukir, seperti sebuah
akropolis, di langit yang biru”
(D’Annunzio, 1889)
D’Annunzio menghubungkan keindahan Sungai Tiber dengan kemunculan luasnya
Roma yang tiba-tiba. Baginya keagungan kota dengan “rasa” epos abadi karena
keindahan Tiber terletak dimana sungai itu lahir, menangkap perhatian pujangga,
dan menjadi bagian aktif dari kota yang bersinar.
Setiap ujung kota tersenyum padanya seperti ingin memberi salam yang
terakhir bahwa pelaku utama terlihat sangat memohon dengan matanya. Pujangga
membaca kota dan Roma membuka matanya sendiri bagi pujangga.
Bagi pujangga Giuseppe Ungaretti7, sungai-sungai selalu menjadi bagian utama dari puisinya, dari empat
sungai dalam hidup Ungaretti, ditambah satu lagi “Tiber yang menimbulkan
bencana” penonton dari semua kekejian perang tetapi juga kesadaran baru
pujangga. Puisi “Sungaiku bahkan kau” merupakan puisi termasyhur dan paling
relijius dimana rasa sakit pribadi Ungaretti menanamkan kekhawatiran yang
begitu besar terhadap masyarakat Roma karena rasa sakit dipermalukan terhadap
pengasingan (Perang Dunia Kedua) di mana pengakuan terhadap keyakinannya
menjadi lebih dramatis dan tegang.
“Sungaiku, bahkan kau,
“Tiber Yang Mematikan”
Ia menusuk hingga ke
jantungmu
Untuk menimbun rasa sakit
Lelaki itu melimpahkannya
ke dunia
[...] Hatimu adalah rumah
yang dirindukan
Cinta yang tak sia-sia.
Tangisku yang sunyi tak
lama lagi bukan milikku”
(Ungaretti, 947)
Dalam puisi ini, Tiber menjadi simbol jalan yang mematikan dari “ketakutan”
malam. Sosok Yesus yang penting merupakan saudara laki-laki dari pujangga yang
akhirnya memeluk semua kemanusiaannya. Di tahun 1916, Ungaretti menggubah
sebuah puisi berjudul “Sungai-Sungai” di mana
dia dapat memahami dirinya sendiri melalui sungai-sungai yang ia temui dalam
perjalanan ziarahnya, dari Mesir, Perancis, hingga Italia. Tiber menjadi sebuah
simbol rasa sakit bahwa cumbuan di malam hari dan memukul yang tidak bersalah
disimbolkan dalam nafsu anak domba [...] sendu yang tak terhingga”. Penderitaan
yang terburuk adalah pengharapan dari ketidakpastian itu sendiri dimana penderitaan
yang membuat tiap pengungsi merasa tak aman. Untuk mengakui situasi ini sebagai
“sungai” Ungaretti mengaku bahwa rasa sakit adalah bagian yang tak dapat
dipisahkan dari pribadinya dan manusia. Secara psikologis hal ini tak
cukup untuk mendapatkan kembali rasa
sakit untuk memberi rasa sakit itu sebuah rasa, tak cukup juga untuk mencatat
bukti-bukti yang membuat kita tak berdaya, tak cukup juga jika rasa sakit
berlanjut untuk membangkitkan rasa sakit yang lebih.
PENUTUP
Sebagai sebuah kekuatan yang secara tetap dan berubah-ubah bagian dari
pemandangan alam yang bergerak, sungai-sungai berinteraksi dengan puisi yang
dinamis. Terlepas dari metafora dan ilustrasi yang menyenangkan, sebuah sungai
dapat menyediakan sebuah inspirasi yang datang dengan meminum air dari mata air
puitis, menjadi ciri dalam sebuah cerita puitis, atau tindakan seperti seorang
penulis, mewakili sebuah kebebasan hidup bercerita dimana penulis dan pembaca
ikut berpartisipasi.
Tema sungai berhak mendapatkan pengakuan terhadap semakin hilangnya sungai
tiap zaman dengan hasil-hasil yang berbeda dari para pujangga yang berbeda,
meminjamkan dirinya sendiri menjadi simbol yang paling berbeda dan tafsiran.
Tiap penulis telah menggunakan gambaran sungai dengan cara yang berbeda,
selalu menghubungkan Sungai Tiber dengan Kota Abadi, mengakui ini sebagai
jantung kota Roma. Tiber bukan hanya sebuah jalan penting dalam perdagangan di
wilayah Mediterania namun juga digunakan dalam puisi dan cerita. Tiber selalu
dihubungkan dengan sejarah Roma, untuk menentukan apa yang sastra dapat
ceritakan kepada kita tentang Tiber dan
bagaiman sungai dapat membantu kita berfikir tentang pengembangan sastra.
Kekuatan besar sungai-sungai seperti Tiber
mewakili puisi epos, tentu saja seni berpidato tak dapat dibandingkan dengan
aliran sungai. Dari mitologi kuno yang menceritakan kepada kita tentang
lahirnya Kota Abadi Roma dengan Romulus dan Remus yang diselamatkan oleh
kedewaan Tiber. Sungai memandu kita melewati peristiwa-peristiwa epos Virgil Aenid dimana Tiberinus dianggap pater dalam hubungannya dengan kota
Roma. Pandangan imajinatif Dante Alighieri tentang akhirat menggunakan Tiber
sebagai sebuah tempat awal untuk penyelamatan jiwa-jiwa.
Skenario berubah dengan datangnya sastra modern
abad 20 di mana Tiber diibaratkan sebuah sumber inspirasi oleh pujangga modern
untuk mengekspresikan perasaan-perasan yang berbeda yang dihubungkan dengan
perubahan Roma. Aliran sungai Tiber dalam puisi penulis membawa khayalan dan
pemberontakan yang disebabkan oleh kejahatan kota karya Pirandello. Kemakmuran, kekayaan, dan
keduniawian karya D’Annunzio dan ekspresi berbagi rasa sakit karya Ungaretti.
Hari ini Sungai Tiber adalah sebuah jalan air indah yang melintasi Kota Abadi, menceritakan sejarah,
mitos dan puisi melalui alirannya menuju kota abadi dan ia menjadi bagiannya.
“Pesona Tiber mungkin
dalam alirannya yang tak pernah putus, tetap terjalin, dalam kesehariannya,
menjadi sebuah perwakilan fisik sejarah Roma, menjadi sebuah jalan yang tak
berubah, jantung kota abadi. Ini adalah benar, sungai-sungai adalah sejarah
kehidupan”.
(Tiziano Tiziani)
Catatan:
1 Karya tulis dalam bentuk dialog politik yang membahas
organisasi politik dan institusi negara dan negara aroma
2 The Aenid adalah sebuah puisi epos latin, karya Virgil
antara 29 dan 9 sebelum masehi, yang menceritakan legenda sejarah Aenas, Trojan
yang bepergian menuju Italia dimana dia menjadi leluhur bangsa Roma
3 The Georgics adalah
puisi karya Latin pujangga Virgil, mungkin diterbitkan abad 29 sebelum masehi
dan dianggap sebagai karya utama kedua Virgil.
4 nama dimana orang Yunani mula-mula ditunjuk negeri barat
5 dia adalah dramawan, penulis, dan pujangga dianugerahi
Nobel Prize untuk sastra tahun 1934. Untuk produksinya, tema-temanya
berhubungan dengan inovasi cerita teater yang dianggap sebagai pendrama
terbesar di abad 20
6 Dia adalah penulis, pujangga, jurnalis, dramawan, dan
prajurit Italia pada Perang Dunia I. Dia menduduki tempat terkemuka dalam
sastra Italia dari 1889 hingga 1910 dan kemudian kehidupan politik dari 1914
hingga 1924
7 Giuseppe Ungaretti adalah seorang pujangga modern Italia,
jurnalis, penulis esai, kritikus, akademisi, dan penerima pengukuhan 1970 Neustadt International Prize untuk bidang sastra. Ketua Ermestimo, dia adalah salah
satu kontributor terkemuka sastra Italia abad 20
DAFTAR PUSTAKA
Lindskoog, K . 1997. Dante's Divine Comedy: Purgatory: Journey to Joy, Part.Macon: Mercer University Press
Lindskoog, K. 1997. Dante’s Divine
Comedy. Macon: Mercer University Press
Moroford, Mark and Lenardon, Robert . 1971. Classical Mythology. Oxford: Oxford
University Press
Mynors P. 1969. Vergili Maronis Opera Oxford. Oxford:
Oxford University Press
Pallottino, M. 1993. Origini e storia primitiva di Roma.
Roma: Bompiani
Prudence, J. 2005. Reading Rivers in Roman Literature and Culture.
Lanham, MD: Lexington Books
R. F. Thomas, Reading Virgil and His Texts: Studies in Intertextuality,
Ann Arbor, The University of Michigan Press, 1999, 135
Richard H. Lansing, Barolini, T. 2000. The
Dante Encyclopedia. New York:
Garland Pub
Richard,
J. A. 2000. Barrington Atlas of the Greek and Roman World: Map-By-Map
Directory. Princeton, NJ and Oxford, UK: Princeton University Press
Richard, S. Near
Eastern Archaeology: A Reader. Winona
Lake, IN: Eisenbrauns
* Makalah disampaikan pada
Seminar Internasional Sastra Indonesia, Banjarmasin, 6 s.d. 9 Desember 2017
MAKALAH SASTRA SUNGAI : TIBER: JANTUNG KOTA ABADI OLEH CHANTAL TROPEA (Universitas Naples L’Orientale) Terjemahan Bahasa Inggrisnya lihat di selengkapnya di sini !!
MAKALAH SASTRA SUNGAI : TIBER: JANTUNG KOTA ABADI OLEH CHANTAL TROPEA (Universitas Naples L’Orientale) Terjemahan Bahasa Indonesianya
VISIUNIVERSAL | Blog Tentang Ilmu Pengetahuan, Pendidikan dan Teknologi, Tips Cara Belajar Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Seumur Hidup
at
December 10, 2017
Tiber: The Heart of
the Eternal City *
CHANTAL TROPEA
B. Languages
and Literature
University of Naples L’Orientale
Oriental Languages and Cultures
Email: chantix.ct@gmail.com
ABSTRACT
This paper deals with the
cultural context of river Tiber in the Roman “Eternal City “ in respect of
mythology, narrative, ethnology and literature. In the ancient world, since
they demarcate and define, rivers often establishing boundaries both
symbolically and in geographical terms. From the beginning, poetry has always
used images of the nature to model them according to its communicative and
symbolic needs, and perhaps no others elements are deformable and adaptable to
these aim as is water, intrinsically lacking of a definite form.
Water is chosen as a poet’s
confident, as it is able to keep the secrets of the events which it witnesses
and The essential characteristics of a river, that is movement and
directionality, link it to literary narrative and the construction of literary
texts.
Rome is called the Eternal
City because the destinies of the world seemed to be related to the city’s
destiny. And the thesis was strengthened by the history and events. It is also
called Caput Mundi because it was for
so long the capital of the “Mediterranean world”.
The eternal city is identified
with its river that gave it birth: the Tiber river, site of wars, engineering
achievements, major “highway” of the Mediterranean trade, but first of all
source of inspiration for the poetry: from mythology to the modern literature
poets have used the strict linking between this two entities to tell us about
myths, poem, imaginative vision of the afterlife, expressing different feelings
and point of view, always showing the lasting connection between Roma Caput Mundi and the Tiber river.
Keywords: river, Tiber,
Eternal city and Caput Mundi.
INTRODUCTION
“For life and death
are one, even as the river and the sea are one”
(Khalil Gibran)
I
|
f the river is the place where
everything flows, altering and renewing itself into a ceaseless becoming, it is
easy understandable that in every epoch, the main poets have represented in it
dynamic and contrastive values, always linked to the antithetical sense of
fugacity and regeneration that at each level
(from historical to existential, from physical to philosophy) the change
become source of inspiration.
A primordial sign of fertility
and pride but also a geological crack of crossing, demarcation and reunion of
nature and history, environment and civilization, living allegory of the cycle
of life and death, a symbolic figure of the unconscious, but at the same time a
mythical image of entire cycles of historical domination in the world. So, the
river offers not just a vivid background or illustration, but acts as a
mediator between poetry and poet. It can link the past to the present, and the
flow of the river can assist or become part of the narrative. Similarly, river
catalogues and river journeys may form part of a narrative structure. Poetry,
from the ancient to the modern one, owe a lot to the rivers, where their water
prefigures in the writing of air and earth.
Rivers have great symbolic
value, with deep cultural roots based on the importance of water as a necessity
of life (Prudence, J.2005).All civilizations depend on available water, and, of
course, rivers are a fine source of life. Rivers also provided ancient
societies with access to trade not only of products, but ideas, including
language, writing, and technology. River-based irrigation permitted communities
to specialize and develop, even in areas lacking adequate rainfall. For those
cultures that depended on them, rivers were the lifeblood. In "The Early
Bronze Age in the Southern Levant," in Near Eastern Archaeology,
Suzanne Richard (2003) calls ancient civilization based on rivers, primary or core,
and non-riverine (e.g., Palestine), secondary. You'll see that the societies
connected with famous rivers such as
Tigris, Euphrates, Nile, The Yellow River and Tiber are all qualify as core
ancient civilizations (Richard, 2003:87).
Rivers have a mystical
importance in that while constantly changing they seem to stay the same. Rivers
are also unpredictable, and hence there are many stories in mythology of rivers
changing shape, and cases where water becomes an agent of transformation. Given
that the Tiber is a special river keeping the truth and the mythology in the
history of the city Rome, its semantic and representative richness raises to a
multiple power. It is the birth point of the largest and most influential
empire of the antiquity, gradually overwhelmed by its own growth and expansion,
beyond the classical turn of the century in which the alternate events of
decadence and recovery, abandonment and rebirth projected on the journey of entire centuries
of conflict and uncertainty. The river is the faithful and sensitive mirror of
the city it gave birth. Eternalizing the river in the forms of writing is not
merely a permanent testimony but takes directly the place of history, in fact
it itself makes the history.
DISCUSSION
The ideological view that
comes to mind only to mention the name of the city of Rome appears and takes on
meaning if we pay attention to the waters of the river Tiber that run uneasy
and perpetual under the ripe and bridges of the city. All the
"monumental" that in history was the prerequisite of a triumphal
location of Rome, the aeterna city, well above the commune,
find in its river, which it is its heart, the ordinary reason for its
existence, a strongly secularized response, consistent with everyday life of
more human activities: related to survival, use and maintenance.
The river is indissolubly
linked to the use and the life of men, expressing better than anything else the
“handing down” of things and values within a direct and interactive
relationship between human society and the environment of its life.
"Not without
reason gods and men have chosen this place to found the city: extremely
well-kept huts, a convenient river through which to transport indoor products
and receive sea supplies, a place near the sea enough to take advantage of the
opportunities but not exposed to the dangers of foreign fleets because of the excessive
proximity to the centre of Italy, very suitable for the increase of the city,
the same size as the latter is the proof ”.
(Cicerone, 54 A.D.)
Cicerone, in his writing De Republica,[1]
showed that the ancients were aware that the reasons for choosing the place
on which the city would arise were of a purely economic nature.
The presence of the Tiber river
was so important for the birth of the city that Servius (Roman commentator
lived between the 4th and 5th centuries AD) argued that the ancient name of
the river Tiber, Rumon or Rumen (whose root derives from ruo, or "scroll "), gave its
name to the city, so that Rome would mean" City of the River" (Pallottino,
1993: 61-68).
The river Tiber ( in Italian Fiume
Tevere) is the historic river of Europe and the second
longest Italian river after the Po,
rising on the slope of Mount Fumaiolo, a major summit of the Appennino Tosco-Emiliano. With its 252 miles (405 km) long, twisting in a
generally southerly direction through a series of scenic gorges and broad
valleys, the Tiber flows through the city of Rome and
enters the Tyrrhenian
Sea of the Mediterranean near Ostia Antica.
A
vivid and overwhelming vortex generated by the Tiber island invests the
surroundings territories, marking the founding start of the capital of the
world: Tiber is in the archaic Rome the border line between Etruscan and Latin
people, and it was, the mythic nucleus
since the earliest origins, as well as strategic crossing point.
According to the legend, the
city of Rome was founded in 753 BC on the banks of the Tiber about 25
kilometres (16 mi) from the sea at Ostia. The Tiberina island in the centre of
Rome, between Trastevere and the ancient centre, was the site of an important
ancient ford and was later bridged.
In Roman mythology, Romulus
and Remus are twin brothers, whose story tells the events that led to the
founding of the city of Rome and the Roman Kingdom by Romulus. The killing of
Remus by his brother, and other tales from their story, have inspired artists
throughout the ages. Since ancient times, the image of the twins being suckled
by a she-wolf, has been a symbol of the city of Rome and the Roman people.
Although the tale takes place before the founding of Rome around 750 BC, the
earliest known written account of the myth is from the late 3rd century BC.
Possible historical basis for the story, as well as whether the twins' myth was
an original part of Roman myth or a later development is a subject of an ongoing
debate.
Romulus and Remus were born in
Alba Longa, one of the ancient Latin cities near the future site of Rome. Their
mother, Rhea Silvia was a vestal virgin and the daughter of the former king,
Numitor, who had been displaced by his brother Amulius. In some sources, Rhea
Silvia conceived them when their father, the god Mars visited her in a sacred
grove dedicated to him. Through their mother, the twins were descended from
Greek and Latin nobility.
Seeing them as a possible
threat to his rule, King Amulius ordered them to be killed and they were
abandoned on the bank of the Tiber River to die. They were saved by the god
Tiberinus, Father of the River and survived with the care of others, at the
site of what would eventually become Rome.
According to other sources, Rome's founders, were
abandoned on the Tiber’s waters, where they were rescued by the she-wolf, Lupa (Richard, J. 2000:630).
The Tibet river represents
Virgil's vision of his own storytelling. In Virgil’s epic Aeneid[2],
one of the founding books of the western culture, the Tiber is revealed to have
reclaimed its ancient, “true” name of “Albula”, though in a way that
foreshadows the continuing reality of war and internecine strife for Rome.
There is one of the main
mention of the Tiber in the Georgics[3], as
the beekeeper Aristaeus enters the underwater realm of his mother Cyrene:
“…omnia sub magna
labentia flumina terra spectabat diversa locis, Phasimque Lycumque, et caput
unde altus primum se erumpit Enipeus, unde pater Tiberinus et unde Aniena
fluenta…”
(G. IV, 366-369).
The few lines quoted here form part of a
larger description of both significant rivers and storied nymphs. Tiberinus is
identified as pater because of his
connection to Rome; the passage in a sense serves to balance the supplicatory reference to the
river from the first georgic. These
two allusions to the Tiber and its god set the stage for the dramatic part
played by the river in Virgil’s crowning poetic achievement, his epic of Rome’s
origins and identity.
The mention of the eponymous
god is echoed near the opening of the second half of the epic, as the Trojans
finally arrive near the mouth of the storied river, in a passage that owes much
to preceding
literary and historical traditions
about the Trojan landfall in Hesperia[4]:
“…atque hic Aeneas ingentem ex aequore lucum
prospicit. hunc
inter fluvio Tiberinus amoeno
verticibus rapidis
et multa flavus harena
in mare prorumpit…”.
(A. VII, 29-32).
There is a grove, and a
riverbank that is a place of refuge and serenity; the river itself is possessed
of a vigor and life that is most fitting for the very eternal capital of the
world, as it were ( Mynors,1969). It is important to remember that in these
poems Virgil was partly trying evoke a pleasant pastoral scene and convey the
countryman's view of the role of the
rivers and springs in the cycle of bucolic activities.
In the Book VIII of Virgil's
epic Aeneid, there is a spatial,
temporal and literary journey, where the river is a perfect emblem for
directional progress. The Tiber is the point of embarkation for Aeneas' travels
in Italy and also provides a course for words and narrative. However, in
respect of the famous prophecy of Tiberinus about Aeneas' destined achievements,
there is no 'disparity between the prophecy and its fulfillment'. Tiberinus
promises to guide the ship so that the rowers can overcome the current, but
later it is the river itself that checks its current. Tiberinus simply promises
that the Trojans will be able row upstream (a feature of traffic on the Tiber)
and in due course makes this easier by ensuring that the river is calm. Tiberinus
helped Aeneas after his arrival in Italy from Troy, suggesting to him that he
seek an alliance with Evander of Pallene in the war against Turnus and his
allies. The river’s deity appeared to Aeneas in a dream, telling him he had
arrived at his true home. Tiberinus also calmed the water so that Aeneas' boat
was able to reach the safely city (Moroford, Mark, Lenardon, Robert 1971:215).
He was considered the one of the most important river-gods and people made sure
to put offerings in the Tiber River every May. Tiberinus was honored with
twenty-seven straw dummies which were called Argei.
Rivers represents transition
from one phase of life to another, including rites of passage and indeed death
itself. Tiber river is quoted so many times by Dante Alighieri, in the famous
long narrative poem Divine Comedy, the preeminent work in Italian literature
and one of the greatest work of world literature.
The poem's imaginative vision
of the afterlife is representative of the medieval world-view as it had
developed in the Western Church by the 14th century. It is divided into three
parts: Hell, Purgatory and Paradise or Heaven. The Purgatory demonstrates the
medieval knowledge of a spherical Earth, with Dante referencing the different
stars visible in the Southern Hemisphere, the altered position of the sun, and
the various timezones of the Earth (Richard H., 2000).
In a contrast to Charon's
ferry across the Acheron in the Inferno,
Christians’ souls are escorted by an Angel Boatman from their gathering place
somewhere near Ostia, the seaport of Rome at the mouth of the Tiber, through
the Pillars of Hercules across the seas to the Mountain of Purgatory.
[…]“ For three
months now he has been easily taking on board all who want the trip. Therefore
at se seashore where the Tiber becomes saltwater, I was gathered in. Right back
to that river mouth he has set his wings again because those who do not sink
down to the river Acheron are always assembled there” […]
The souls that were bound for
Purgatory assembled in Rome at the mouth of the Tiber River and were ferried by
an angel; those who were bound for Hell assembled by the River Acheron and were
ferried by a demon. The angel used his wings and the heavenly boat flew; Charon
used an oar to paddle and sometimes hit his passengers with it. The blessed
souls were singing in unison; the damned were wailing and cursing separately
(Lindskoog,1997:10)
The poet imagines that the
souls destined for salvation adorn themselves at the mouth of the Tiber,
waiting to be welcomed into the jar of the nigger angel and transport them to the island of Purgatory.
The allegorical significance
of the localization is evident: as opposed to Acheron, the river of the damned,
Tiber, which clearly indicates connection with the eternal city Rome, as the
centre of Christianity, is the river at whose mouth (where it sins) collects
souls destined for the eternal deliverance.
Rivers help to define the
identity of peoples and places because they are an emblem of the landscape and
therefore advertise the association of certain people with a place. So rivers
divide as well as connect. This is an important theme for writers and poets. The
Tiber river tended to be important centres of communications, and above all had
a role in the emotional and cultural life of Roman’s communities. Rome is the
city where everything is linked together. the screams of pedestrians blend with
the silence of the historic buildings; the Tiber slowly flows and divides, the
ancient resists and merges with the innovation where different cultures are
daily compared; a city that has become for centuries a symbol of human
conditions like an Homeric siren, his “voice” has always charmed writers and
poets from all over the world: authors like Pirandello, Gabriele D’Annunzio,
Giuseppe Ungaretti, after have been seeing “the eternal city” and its
connection with the Tiber and have been inspired from it, they have developed different feelings and got different shapes
of it. Through the history of literature, from the mythology until the early 20th
century, the city of Rome with its Tiber reveals new features.
Pirandello[5]
through his poems expresses the late romantic concept of inner coldness. The
poet is angry and disappointed with the new image of the eternal city, has
already became a symbol of corruption and decadence, sweeping away its glory.
He is no able to be consoled: Rome is no longer a classical beauty and its
ruins instead of be protected by the romans, are destroyed by the “dwarf
traitors of build corruption”. Pirandello would like to see shimmering the
memories of ancient Rome, and to eradicate the wickedness, that is, the civil
and social corruption that grips the city.
In 1901 he wrote Tiber’s
Tears (“Pianto del Tevere”) whose inspiration was born from the Tiber’s
flood on December 2, 1900, barely contained by the wall still under
construction which collapsed for a long stretch between the Cestio and the
Palatine bridge and its muddy waters came into the city through Pantheon’s
Square.
“You will no longer
see him , passing through the city of Rome, as I did , one day;
the Tiber, passing
between his natural shaky lids [...] like a mugging and full of robbery he comes
down, so that every wave is able to overcome the edges of oppressive margins;
running through the underground streets, he is shown to the Pantheon: "Do
you see, sacred scraps of our Rome? I am still here: Rome needs a great wash”
(Pianto del Tevere,1990)
The poet uses the pronoun “our” because he feels part of the
city and “him” referring to the Tiber, because he personifies the river with
the eternal city. For him the flood is a rebellion, and the protagonist of this
poem is the river’s lament who wants to overcome the banks to cover Rome and
its wickedness, erasing a city that was just a scrap of what it was.
Different point of view is
founded in Gabriele D’Annunzio’s poetry[6]: Rome
is not the city of antiquity, but it is the city that shines with its precious
ornaments, and among its ornaments emerges the river Tiber. He does not care
about Rome’s corruption that made worried Pirandello, but he sees the same
decadence as a great beauty.
“Rome shone in the
morning of May embraced by the sun,
on the bridge
appeared the shining stream of river Tiber, fleeing among the green houses,
after a while, on
the uphill the eternal city appeared,
clearly carved,
like an acropolis, in the full blue’s sky.
(D’Annunzio, 1889)
D’Annunzio links the beauty of
the river Tiber to the sudden appearance of the immensity of Rome.
For him, the majesty of the
city, with the epic eternal “flavour” is due to the Tiber’s beauty from which
the city was born, capturing the attention of the poet, becoming active part of the shining city. Every
corner of the city is smiling at him, as if to give the last greeting that the
protagonist seems to implore with his eyes. The poet reads the city and Rome
opens itself to the poet.
For the poet Giuseppe
Ungaretti,[7] rivers
are always been a central part in his poetry. To the four rivers of Ungaretti’s
life, is added the fifth one: “the fatal Tiber” spectator of all the atrocities
of the war but also of a new awareness of the poet. The Poem “My River even you” is the most
notorious and most religious poem in which the personal pain of Ungaretti
instill the angst of the Roman people for the humiliating pain of deportations
(Second World War), where his confession of faith becomes more dramatic and
tense.
“My River, even
you, “fatal Tiber”
It pierces in your
heart
The sum of the pain
That man is pouring
on the earth;
[…]Your heart is
the passionate home
of love is not in
vain.
My lonely crying is
no longer just mine”
(Ungaretti, 1947)
In this poetry, the Tiber
becomes the symbol of the fatal pass of the night of “fear”. The Crucified
Christ is the brother from whom the Poet finally embraces all of his humanity.
In 1916, Ungaretti wrote a poem entitled “The Rivers” in which he could
understand himself through the rivers he met on his life’s pilgrimage: from
Egypt, France, to Italy. The Tiber becomes a symbol of the pain that advances
in the "night" and strikes the innocent, symbolized in the "lust
of lambs [...] infinite sobs”.
The worse suffering is the
expectation of the unpredictable pain itself, where the anguish make every
refuge insecure. In recognizing this situation as "his river",
Ungaretti admits that pain is inseparable part of his person and of the human.
It is not enough to psychologically regain the pain to give it a sense. It is
not enough to take note of the evidence that makes us impotent. It is not
enough if the pain continues to generate only more pain.
CONCLUSION
As a forceful, changeable and
constantly moving part of the landscape, rivers interact with the dynamics of
poetry. Apart from pleasant illustrations and metaphors a river could serve as
a means of inspiration, which came though imbibing water from poetically
significant springs, be a character in a poetic story, or act as a kind of
narrator, representing an independently existing narrative in which author and
reader participate.
The theme of river deserves
the recognition of having gone through each era with different results from
different poets, lending itself to the most disparate symbolism and
interpretation.
Every author has used the
image of the river in a different way, always linking the Tiber river with the
Eternal City, recognizing it as the heart of Rome. The Tiber was not only an
important highway for the trade in the Mediterranean area, but it was used in
poetry and narrative, always linked to the history of Rome, to determine both
what literature can tell us about Tiber and, conversely, how the river can help
us think about the development of literature.
Big powerful rivers like the
Tiber represented epic poetry, and of course oratory could be compared to the
flow of a river. From the ancient mythology telling about the birth of the
Eternal city of Rome, with Romulus and Remus rescued by the Tiber’s deity, the
river guides us through the events of the Virgil’s epic Aenid where Tiberinus is considered the pater for its connection to the city of Rome, to the imaginative
vision of the afterlife of Dante Alighieri, using the Tiber like a starting
place for the souls’ salvation.
The scenario changed with the
arrival of the nearest modern literature of the XX century, where the Tiber is
used like a source of inspiration by modern
poets to express different feelings
connected to the change of Rome. The
Tiber ‘s flows in the author’s poetry bringing delusion, and rebellion caused
by the city wickedness with Pirandello, prosperity, richness and worldliness
with D’Annunzio and expression of sharing pain with Ungaretti.
Today the Tiber River is a
wonderful waterway that crosses the Eternal City, telling the history, the
myths and poetry through its flow of the city that gave birth and of which it
will eternally be part.
“The charm of the Tiber is perhaps in his continuous
flow, remaining unchanged, in his departure, being a sort of physical
representation of the history of Rome, being, in an unchanged way, the heart of
the eternal city. it's really true, rivers are history of life”.
(Tiziano Tiziani)
REFERENCE
Lindskoog, K . 1997. Dante's Divine Comedy: Purgatory: Journey to
Joy, Part.Macon: Mercer
University Press
Lindskoog, K. 1997. Dante’s Divine Comedy. Macon: Mercer
University Press
Moroford, Mark and
Lenardon, Robert . 1971. Classical
Mythology. Oxford: Oxford University Press
Mynors P. 1969. Vergili Maronis
Opera Oxford. Oxford: Oxford University Press
Pallottino, M. 1993. Origini e storia primitiva di Roma. Roma: Bompiani
Prudence, J. 2005. Reading Rivers in Roman
Literature and Culture. Lanham, MD: Lexington Books
R. F. Thomas, Reading Virgil
and His Texts: Studies in Intertextuality, Ann Arbor, The University of
Michigan Press, 1999, 135
Richard H.
Lansing, Barolini, T. 2000. The Dante Encyclopedia. New York: Garland Pub
Richard, J. A. 2000.
Barrington Atlas of the Greek and Roman World: Map-By-Map Directory. Princeton, NJ and Oxford, UK:
Princeton University Press
Richard,
S. Near Eastern Archaeology: A
Reader. Winona
Lake, IN: Eisenbrauns
[1] Written
work in the form of political dialogue that discussed the political
organization and institutions of the state and of the Roman’s State.
[2] The Aeneid is a latin
epic poem, written by Virgil between 29 and 19 BC, that tells the legendary
story of Aeneas, a Trojan who travelled to Italy, where he became the ancestor
of the Romans.
[3] The Georgics is a
poem by Latin poet Virgil, likely published in 29 BC, and considered Virgil’s
second major work.
[5] He was an
Italian playwright, writer and poet, awarded the Nobel Prize for Literature in
1934. For his production, the themes dealt with and the innovation of
theatrical tale are considered among the greatest playwrights of the twentieth
century.
[6] He was
an Italian writer, poet, journalist, playwright and soldier during World War I.
He occupied a prominent place in Italian literature from 1889 to 1910 and later
political life from 1914 to 1924.
[7] Giuseppe Ungaretti was an
Italian modernist poet, journalist, essayist, critic, academic, and recipient
of the inaugural 1970 Neustadt International Prize for Literature. A leading
representative of the experimental trend known as Ermetismo, he was one of the
most prominent contributors to 20th century Italian literature.
* Disampaikan dalam Seminar Internasional Sastra Indonesia, 6 s.d. 9 Desember 2017 di Banjarmasin.
Terjemahan Bahasa Indonesia Makalah Sastra TIBER: JANTUNG KOTA ABADI OLEH CHANTAL TROPEA (University of Naples “ L’Orientale ”) Baca Selengkapnya di sini !!.
MAKALAH SASTRA : TIBER: JANTUNG KOTA ABADI OLEH CHANTAL TROPEA (University of Naples “ L’Orientale ”)
VISIUNIVERSAL | Blog Tentang Ilmu Pengetahuan, Pendidikan dan Teknologi, Tips Cara Belajar Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Seumur Hidup
at
December 10, 2017