Morrison (1995) menjelaskan bahwa pendidikan anak usia dini mencakup anak-anak sejak lahir sampai delapan tahun, sesuai dengan definisi yang digunakan oleh NAEYC. Program pendidikan anak usia dini melayani anak sejak lahir sampai delapan tahun melalui kelompok-kelompok program selama sehari penuh maupun separuh hari di pusat, rumah maupun institusi. Tujuan program pendidikan anak usia dini mencakup berbagai layanan program yang dirancang untuk meningkatkan perkembangan intelektual, sosial dan emosional, bahasa dan fisik anak (Bredecamp & Copple, 1997).
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan suatu konsep gerakan nasional yang menjadi lebih memiliki kepastian hukum pada tingkat undang-undang, baik dari segi keberadaan dan program-programnya maupun dari segi namanya (Supriadi, 2003). Pendidikan Anak Usia Dini pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjadi bagian tersendiri yaitu pada Bagian Ketujuh. Kepastian hukum ini membawa konsekuensi logis bagi pemerintah untuk menjalankan amanat Undang-undang Sisdiknas sehingga pada bulan yang sama, bertepatan dengan puncak Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mencanangkan Pendidikan Anak Usia Dini dilaksanakan di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak.
Bila dikaji lebih lanjut tentang makna UU Sisdiknas yang terkait dengan pendidikan anak usia dini, dapat disimpulkan bahwa PAUD merupakan payung dari semua pendidikan bagi anak usia dini yang dapat dilaksanakan pada jalur formal, nonformal dan informal. Rumusan Pasal 28 itu mewakili pemikiran yang inklusif tentang PAUD. Inklusif dapat mengandung dua pengertian: Pertama, Inklusif bahwa PAUD meliputi semua pendidikan usia dini, apa pun bentuknya, di mana pun diselenggarakan dan siapa pun yang menyelenggarakannya. Kedua, inklusif mengandung makna bahwa pengertian PAUD dalam UU Sisdiknas "mengatasi" (artinya tidak memperdulikan) tentang siapa yang menangani pendidikan ini. Kalau dikatakan bahwa Direktorat PAUD adalah pihak yang bertanggung jawab mengoordinasikan, memfasilitasi, dan memantau kegiatan PAUD itu benar, karena memang tugas dan fungsinya demikian. Tapi bukan berarti pula Direktorat inilah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan dan program PAUD di Indonesia. Direktorat TK/SD dalam batas kewenangan dan sesuai dengan tugas dan fungsinya juga bertanggung jawab dalam mendorong perkembangan Taman Kanak-kanak. Begitu juga Departemen Agama yang membina Raudhatul Athfal serta Departemen Sosial yang selama ini membina Taman Penitipan Anak, turut bertanggung jawab (Supriadi, 2003).
MAKNA DAN IMPLIKASI UU SISDIKNAS TENTANG PAUD
Digulirkannya reformasi di semua bidang; ekonomi, politik, hukum, agama dan sosial budaya, termasuk bidang pendidikan, merupakan harapan baru masyarakat Indonesia untuk belajar dari pengalaman-pengalaman di masa lalu seraya mengarahkan perubahan masyarakat Indonesia menuju masyarakat madani (civil society). Tuntutan reformasi tresebut dipenuhi oleh DPR-RI, bersama dengan pemerintah, dengan disahkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tanggal 11 Juni 2003 yang lalu. Sistem Pendidikan Nasional yang handal dan visioner sudah harus diketemukan, agar mampu menjawab globalisasi dan membawa Indonesia hidup sama hormat dan sederajat dalam panggung kehidupan internasional dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Suatu Sistem Pendidikan Nasional yang mampu mengantarkan orang Indonesia menjadi warga dunia modern tanpa kehilangan jati dirinya.
Pada era reformasi, sistem pendidikan nasional masih diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, yang banyak pihak menilainya bahwa UU tersebut tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang atas dasar itulah kemudian disusun Undang-Undang yang baru tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang meskipun melalui perdebatan yang cukup rumit dan melelahkan, namun akhirnya dapat disahkan menjadi Undang-Undang.
Disahkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, oleh banyak kalangan dianggap sebagai titik awal kebangkitan pendidikan nasional, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Hal ini karena secara eksplisit UU tersebut menyebut peran dan kedudukan pendidikan agama (Islam), baik sebagai proses maupun sebagai lembaga.
Setelah berjalan beberapa tahun, nampaknya UU Sisdiknas itu pun sudah waktunya untuk direvisi pada beberapa pasalnya. Tilaar, sebagaimana dikutip Armai Arief, menggarisbawahi kaji ulang sistem pendidikan nasional sebagai berikut : (1) perlunya dikembangkan dan dimantapkan sistem pendidikan nasional yang dititikberatkan kepada pemberdayaan lembaga pendidikan, dengan cara memberikan otonomi seluas-luasnya kepada lembaga sekolah; (2) perlunya pengembangan sistem pendidikan nasional yang terbuka bagi keragaman budaya dan masyarakat dalam implementasinya; (3) program-program pendidikan nasional hendaknya dibatasi hanya pada upaya tetapnya integritas bangsa.
Menurut Armai Arif untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional yang baru tersebut ada beberapa program yang harus dilaksanakan yaitu :
Pertama, perlunya mempersiapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah yang meliputi Sumber Daya Manusia (SDM), organisasi, fasilitas dan program kerjasama antarlembaga di daerah.
Kedua, perlunya debirokratisasi penyelenggaraan pendidikan dengan merestrukturisasi departemen pusat agar lebih efisien, dan secara berangsur-angsur memberikan otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan pada tingkat sekolah (otonomi lembaga).
Ketiga, desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara bertahap, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota dengan mempersiapkan SDM, dana, sarana dan prasarana yang memadai pada daerah Tingkat Dua tersebut.
Keempat, perlunya penghapusan berbagai peraturan perundang-undangan yang menghalangi inovasi dan eksperimen menuju sistem pendidikan yang berdaya saing di masa depan.
Kelima, mengadakan revisi UU Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan perundangan pelaksanaannya. Revisi ini mencakup otonomi bagi sekolah untuk mengatur diri sendiri; peran masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan pendidikan yang diwadahi dalam bentuk Dewan Sekolah; fungsi pengawasan diarahkan untuk peningkatan profesionalisme guru; adanya otonomi guru untuk menentukan metode dan sistem evaluasi belajar, dan sebagainya.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disahkan oleh DPR pada tanggal 11 Juni 2003, dan diberlakukan pada tanggal 8 Juli 2003. Dalam Batang Tubuh Undang-Undang tersebut memuat 22 Bab, dan 77 Pasal, adalah cukup ideal dan akomodatif dalam mengatur sistem pendidikan di Indonesia, termasuk sistem pendidikan Para sekolah (PAUD). UU Sisdiknas dapat dikatakan sebagai suatu “rahmat” dan "kemenangan" dari segi konsep tentang PAUD.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan suatu konsep gerakan nasional yang menjadi lebih memiliki kepastian hukum pada tingkat undang-undang, baik dari segi keberadaan dan program-programnya maupun dari segi namanya (Supriadi, 2003).
Pendidikan Anak Usia Dini pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjadi bagian tersendiri yaitu pada Bagian Ketujuh. Kepastian hukum ini membawa konsekuensi logis bagi pemerintah untuk menjalankan amanat Undang-undang Sisdiknas sehingga pada bulan yang sama, bertepatan dengan puncak Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mencanangkan Pendidikan Anak Usia Dini dilaksanakan di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak.
Bila dikaji lebih lanjut tentang makna UU Sisdiknas yang terkait dengan pendidikan anak usia dini, dapat disimpulkan bahwa PAUD merupakan payung dari semua pendidikan bagi anak usia dini yang dapat dilaksanakan pada jalur formal, nonformal dan informal. Rumusan Pasal 28 itu mewakili pemikiran yang inklusif tentang PAUD. Inklusif dapat mengandung dua pengertian: Pertama, Inklusif bahwa PAUD meliputi semua pendidikan usia dini, apa pun bentuknya, di mana pun diselenggarakan dan siapa pun yang menyelenggarakannya. Kedua, inklusif mengandung makna bahwa pengertian PAUD dalam UU Sisdiknas "mengatasi" (artinya tidak memperdulikan) tentang siapa yang menangani pendidikan ini. Kalau dikatakan bahwa Direktorat PAUD adalah pihak yang bertanggung jawab mengoordinasikan, memfasilitasi, dan memantau kegiatan PAUD itu benar, karena memang tugas dan fungsinya demikian. Tapi bukan berarti pula Direktorat inilah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan dan program PAUD di Indonesia. Direktorat TK/SD dalam batas kewenangan dan sesuai dengan tugas dan fungsinya juga bertanggung jawab dalam mendorong perkembangan Taman Kanak-kanak. Begitu juga Departemen Agama yang membina Raudhatul Athfal serta Departemen Sosial yang selama ini membina Taman Penitipan Anak, turut bertanggung jawab
MAKNA DAN IMPLIKASI UU NO.20 SISDIKNAS TENTANG PAUD
Dengan adanya Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan ini maka Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan sudah tidak ada lagi dalam struktur organisasi Kemendikbud yang baru. Sementara, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal berubah menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat. Berikut Ringkasan isi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2015.
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh Menteri.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan fungsi:
- Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan;
- Pelaksanaan fasilitasi penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan;
- Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan mutu dan kesejahteraan guru dan pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan;
- Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
- Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
- Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
- Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di daerah; h.
- Pelaksanaan pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa dan sastra;
- Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta kebudayaan; dan
- Pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
ORGANISASI
Susunan Organisasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terdiri atas:
Sekretariat Jenderal;
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan;
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat;
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah;
Direktorat Jenderal Kebudayaan;
Inspektorat Jenderal;
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa;
Badan Penelitian dan Pengembangan;
Staf Ahli Bidang Inovasi dan Daya Saing;
Staf Ahli Bidang Hubungan Pusat dan Daerah;
Staf Ahli Bidang Pembangunan Karakter; dan
Staf Ahli Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan.
Sekretariat Jenderal
Sekretariat Jenderal berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal.
Sekretariat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unit organisasi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam melaksanakan tugas, Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi:
- Koordinasi kegiatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
- Koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
- Pembinaan dan pemberian dukungan administrasi yang meliputi ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, kerumahtanggaan, kerja sama, hubungan masyarakat, arsip, dan dokumentasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
- Pembinaan dan penataan organisasi dan tata laksana;
- Koordinasi dan penyusunan peraturan perundangundangan serta pelaksanaan advokasi hukum;
- Penyelenggaraan pengelolaan barang milik/kekayaan negara dan layanan pengadaan barang/jasa; dan
- Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri dan dipimpin oleh
Direktur Jenderal. Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan.
Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan menyelenggarakan fungsi:
Perumusan kebijakan di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya serta tenaga kependidikan;
Pelaksanaan kebijakan di bidang penyusunan rencana kebutuhan dan pengendalian formasi, pengembangan karir, peningkatan
kualifikasi dan kompetensi, pemindahan, dan peningkatan kesejahteraan guru dan pendidik lainnya;
Pelaksanaan kebijakan di bidang penyusunan rencana kebutuhan, peningkatan kualifikasi dan kompetensi, pemindahan lintas
daerah provinsi, dan peningkatan kesejahteraan tenaga kependidikan;
Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya serta tenaga kependidikan;
Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya serta tenaga kependidikan;
Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya serta tenaga kependidikan;
Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan; dan
Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Menteri dan dipimpin oleh Direktur Jenderal. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pendidikan anak usia dini dan pendidikan
masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat menyelenggarakan fungsi:
Perumusan kebijakan di bidang kurikulum, peserta didik, sarana dan prasarana, pendanaan, dan tata kelola pendidikan anak
usia dini dan pendidikan masyarakat;
Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan kualitas pendidikan karakter peserta didik, fasilitasi sumber daya, pemberian
izin dan kerja sama penyelenggaraan satuan dan/atau program yang diselenggarakan perwakilan negara asing atau lembaga
asing, dan penjaminan mutu pendidikan anak usia dini dan pendidikan masyarakat;
Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kurikulum, peserta didik, sarana dan prasarana, pendanaan, dan
tata kelola pendidikan anak usia dini dan pendidikan masyarakat;
Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pendidikan anak usia dini dan pendidikan masyarakat;
Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pendidikan anak usia dini dan pendidikan masyarakat;
Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat; dan
Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri dan dipimpin oleh
Direktur Jenderal. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang pendidikan dasar dan menengah.
Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah menyelenggarakan fungsi:
Perumusan kebijakan di bidang kurikulum, peserta didik, sarana dan prasarana, pendanaan, dan tata kelola pendidikan dasar
dan menengah;
Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan kualitas pendidikan karakter peserta didik, fasilitasi sumber daya, pemberian
izin dan kerja sama penyelenggaraan satuan pendidikan yang diselenggarakan perwakilan negara asing atau lembaga asing,
penyelenggaraan pendidikan di daerah khusus dan daerah tertinggal (pendidikan layanan khusus), dan penjaminan mutu
pendidikan dasar dan menengah;
Fasilitasi pembangunan teaching factory dan technopark di lingkungan Sekolah Menengah Kejuruan;
Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pendidikan dasar dan menengah;
Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pendidikan dasar dan menengah;
Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pendidikan dasar dan menengah;
Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah; dan
Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri dan dipimpin oleh Direktur Jenderal.
Direktorat Jenderal Kebudayaan mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan,
perfilman, kesenian, tradisi, sejarah, cagar budaya, permuseuman, warisan budaya, dan kebudayaan lainnya.
Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Jenderal Kebudayaan menyelenggarakan fungsi:
Perumusan kebijakan di bidang kebudayaan, perfilman, kesenian, tradisi, sejarah, cagar budaya, permuseuman, warisan
budaya, dan kebudayaan lainnya;
Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan dan pelestarian kesenian, sejarah, dan tradisi;
Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan pemahaman nilai-nilai kesejarahan dan wawasan kebangsaan;
Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pengelolaan cagar budaya,
warisan budaya nasional dan dunia, dan museum nasional, pembinaan dan perizinan perfilman nasional, promosi, diplomasi,
dan pertukaran budaya antar daerah dan antar negara, serta pembinaan dan pengembangan tenaga kebudayaan;
Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kebudayaan, perfilman, kesenian, tradisi, sejarah, cagar
budaya, permuseuman, warisan budaya, dan kebudayaan lainnya;
Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang kebudayaan, perfilman, kesenian, tradisi, sejarah, cagar budaya,
permuseuman, warisan budaya, dan kebudayaan lainnya;
Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang kebudayaan, perfilman, kesenian, tradisi, sejarah, cagar budaya, permuseuman,
warisan budaya, dan kebudayaan lainnya;
Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Kebudayaan; dan
Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Inspektorat Jenderal
Inspektorat Jenderal berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri dan dipimpin oleh Inspektur Jenderal.
Inspektorat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Dalam melaksanakan tugas, Inspektorat Jenderal menyelenggarakan fungsi:
enyusunan kebijakan teknis pengawasan intern di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
Pelaksanaan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap kinerja dan keuangan
melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya;
Pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan Menteri;
Penyusunan laporan hasil pengawasan di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
Pelaksanaan administrasi Inspektorat Jenderal; dan
Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri dan dipimpin oleh Kepala
Badan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mempunyai tugas melaksanakan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan di
bidang bahasa dan sastra.
Dalam melaksanakan tugas, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyelenggarakan fungsi:
Penyusunan kebijakan teknis, rencana, program, dan anggaran pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan
sastra;
Pelaksanaan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra;
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra; dan
Pelaksanaan administrasi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa; dan
Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Badan Penelitian dan Pengembangan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri dan dipimpin oleh Kepala Badan.
Badan Penelitian dan Pengembangan mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta kebudayaan.
Dalam melaksanakan tugas, Badan Penelitian dan Pengembangan menyelenggarakan fungsi :
Penyusunan kebijakan teknis, program, dan anggaran penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta kebudayaan;
Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan masyarakat, serta kebudayaan;
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta kebudayaan;
Pelaksanaan administrasi Badan Penelitian dan Pengembangan, dan
Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Staf Ahli
Staf Ahli berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri dan secara administratif dikoordinasikan oleh Sekretaris
Jenderal.
Staf Ahli Bidang Inovasi dan Daya Saing mempunyai tugas memberikan rekomendasi terhadap isu-isu strategis kepada
Menteri terkait dengan bidang inovasi dan daya saing.
Staf Ahli Bidang Hubungan Pusat dan Daerah mempunyai tugas memberikan rekomendasi terhadap isu-isu strategis kepada
Menteri terkait dengan bidang hubungan pusat dan daerah.
Staf Ahli Bidang Pembangunan Karakter mempunyai tugas memberikan rekomendasi terhadap isu-isu strategis kepada Menteri
terkait dengan bidang pembangunan karakter.
Staf Ahli Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai tugas memberikan rekomendasi terhadap isu-isu strategis
kepada Menteri terkait dengan bidang regulasi pendidikan dan kebudayaan.
Jabatan Fungsional
Di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat ditetapkan jabatan fungsional sesuai dengan kebutuhan yang
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
UNIT PELAKSANA TEKNIS
Untuk melaksanakan tugas teknis operasional dan/atau tugas teknis penunjang di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dapat dibentuk Unit Pelaksana Teknis dan dipimpin oleh Kepala.
Unit Pelaksana Teknis ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang aparatur negara.
TATA KERJA
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus menyusun peta bisnis proses yang
menggambarkan tata hubungan kerja yang efektif dan efisien antar unit organisasi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Menteri menyampaikan laporan kepada Presiden mengenai hasil pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan secara berkala atau
sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus menyusun analisis jabatan, peta jabatan, analisis beban kerja, dan uraian
tugas terhadap seluruh jabatan di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Setiap unsur di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam melaksanakan tugasnya harus menerapkan prinsip
koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun dalam hubungan
antar instansi pemerintah baik pusat maupun daerah.
Setiap pimpinan unit organisasi harus menerapkan sistem pengendalian intern pemerintah di lingkungan masing-masing untuk
mewujudkan terlaksananya mekanisme akuntabilitas publik melalui penyusunan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan kinerja
yang terintegrasi.
Setiap pimpinan unit organisasi bertanggung jawab memimpin dan mengoordinasikan bawahan masing-masing dan memberikan
pengarahan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan.
Setiap pimpinan unit organisasi harus mengawasi pelaksanaan tugas bawahan masing-masing dan apabila terjadi penyimpangan
wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap pimpinan unit organisasi harus mengikuti dan mematuhi petunjuk serta bertanggung jawab pada atasan masing-masing
dan menyampaikan laporan kinerja secara berkala tepat pada waktunya.
Dalam melaksanakan tugas, setiap pimpinan unit organisasi harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap unit
organisasi di bawahnya.
PENDANAAN
Segala pendanaan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
KETENTUAN LAIN-LAIN
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang aparatur negara.
KETENTUAN PERALIHAN
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014 yang berkaitan dengan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah dan/atau diganti
dengan peraturan baru berdasarkan Peraturan Presiden ini.
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, seluruh jabatan yang ada beserta pejabat yang memangku jabatan di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai dengan dibentuknya jabatan
baru dan diangkat pejabat baru berdasarkan Peraturan Presiden ini.
KETENTUAN PENUTUP
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, semua ketentuan mengenai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam:
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014; dan
Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal
21 Januari 2015 oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Bagi Anda yang ingin melihat Perpres No. 14 Tahun 2015 secara lengkap, silahkan unduh melalui link di bawah ini:
Demikian tentang Perpres No. 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk lengkapnya dapat di Unduh di sini !!
RINGKASAN PERPRES NO.14 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN.
Visiuniversal----Tipe-tipe Supervisi Pendidikan--Supervisi adalah segala bantuan dari para pemimpin sekolah, yang tertuju kepada perkembangan kepemimpinan guru-guru dan personel sekolah lainnya di dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan. la berupa dorongan, bimbingan, dan kesempatan bagi pertumbuhan keahlian dan kecakapan guru-guru, seperti bimbingan dalam usaha dan pelaksanaan pembaharuan-pembaharuan dalam pendidikan dan pengajaran, pemilihan alat-alat pelajaran dan metode - metode mengajar yang lebih baik, cara-cara penilaian yang sistematis terhadap fase seluruh proses pengajaran, dan sebagainya. Dengan kata lain, Supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif.
Supervisi merupakan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan teknis edukatif di sekolah, bukan sekedar pengawasan fisik terhadap fisik material. Supervisi merupakan pengawasan terhadap kegiatan akademik yang berupa proses belajar mengajar, pengawasan terhadap guru dalam mengajar , pengawasan terhadap situasi yang menyababkannya. 3Aktivitas dilakukan dengan mengidentifikasi kelemahan-kelemahan pembelajaran untuk diperbaiki, apa yang menjadi penyebabnya dan mengapa guru tidak berhasil melaksanakan tugasnya baik. Berdasarkan hal tersebut kemudian diadakan tindak lanjut yang berupa perbaikan dalam bentuk pembinaan.
Regulasi pendidikan mengemukakan bahwa pemerintah dalam menjalankan supervisi pada tingkatan satuan pendidikan mempunyai dua objek sasaran, yaitu secara personal dan institusional. Secara personal, hal itu terlihat pada model supervisi yang menyebutkan bahwa pengawas bertugas membimbing dan melatih profesionalisme pendidikan dan tenaga kependidikan lainnya di satuan pendidikan binaannya. Sedangkan secara institusional menyebutkan bahwa pengawas bertugas meningkatkan kualitas 8 standar nasional pendidikan pada satuan pendidikan.
Sehubungan dengan hal itu, menurut Supardi ada lima tipe supervisi, yaitu:
1. Tipe Inspeksi
Tipe ini merupakan tipe supervisi yang mewajibkan supervisor turun melihat langsung hal-hal yang dikerjakan targer supervisi. Kegiatan supervisi yang menggunkan tipe ini, apabila target supervisi melakukan dalam aktifitas kerjanya, supervisor dapat menginformasikannya secara langsung kepada target supervisi agar langsung menyadari kesalahannya dalam proses untuk mencapai tujuan pendidikan sekolah.
Ketika supervisor menjalankan tipe ini, maka yang harus diperhatikan adalah:
a. Supervisi tidak boleh dilakukan berdasarkan hubungan pribadi maupun keluarga.
b. Supervisi hendaknya tidak kemungkinan terhadap perkembangan dan hasrat untuk maju bagi bawahannya. Supervisi tidak boleh terlalu cepat mengharapkan hasil, mendesak.
c. Supervisi tidak boleh menuntut prestasi di luar kemampuan bawahannya.
d. Supervisi tidak boleh egois, tidak jujur dan menutup diri terhadap kritik dan saran dari bawaannya.
2. Tipe Laisses Faire
Tipe ini target supervisi diberikan kebebasan dalam menjalankan aktifitasnya. Sebab yang dutamakan dalam supervisi model ini adalah hasil akhir sehingga supervisor tidak begitu intens daslam memfokuskan proses kerja yang dilaksanakan target supervisi. Selain itu apabila kita menggunakan tipe inii, supervisor tidak boleh memaksakan kemauannya (otoriter) kepada orang-orang yang disupervisi.
Supervisor juga diharuskan memberikan argumentasi atau alasan yang rasional tentang tindakan-tindakan serta instruksinya. Hendaknya tidak menonjolkan jabatan atau kekuasaannya agar tidak menghambat kreativitas bawahannya.
3. Tipe Coersive
Tipe coersive (paksaan) supervisor dalam melaksanakan tugasnya turut campur dalam mengembangkan pendidiknya. Tipe supervisi seperti ini diperuntukan bagi para pendidik dan tenaga kependidikan yang masih lemah daslam memahami tugas dan tanggung jawabnya. Tipe seperti ini “terpaksa” dilakukan karena pendapat A. Sitohang yang menyatakan bahwa pengembangan sumber daya manusia masih sangat dibutuhkan. Karena ternyata dari hasil penelitian menunjukan masih banyak kekurangan dan kelemahan yang masih harus diperbaiki, terutama dalam bidang pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan yang sesuai dengan target organisasi. Dalam hal ini adalah seperti lembaga pendidikan Islam. Dengan adanya tipe ini, diharapkan problem seperti ini akan cepat teratasi.
4. Tipe Training and Guidance
Tipe training and guidance (pelatihan dan pendampingan) merupakan tipe supervisi yang menekankan keefektifan target supervisi. Kegiatan supervisi dilaksanakan dengan berbasis kepada pengembangan minat dan bakat target supervisi. Tipe training and guidance ini cocok digunakan apabila target supervisi masih belum berpengalaman dalam melaksanakan tugas keprofesian pendidikan. Namun, tipe ini dapat diterapkan kepada target supervisi yang telah berpengalaman.
Agar tipe training and guidance ini dapat dijalankan secara efektif, maka supervisor hendaknya juga menyiapkan berbagai macam sikap yang bersinergi dengan tugasnya. Teori Kiyosaki, maka beberapa sikap yang dibutuhkan supervisor tersebut antara lain:
a. Supervisor hendaknya bersikap positif terhadap segala macam persepsi baik yang positif maupun negatif kepada dirinya.
b. Supervisor dituntut untuk dapat memimpin organisasi profesi pengawas untuk dapat meningkatkan kinerjanya dalam hal pengawasan dan pemantauan baik secara institusional (satuan pendidikan) maupun personal (pendidikan dan tenaga kependidikan).
c. Supervisor hendaknya memiliki sikap yang superl dalam berkomunikasi kepada segenap stakeholders pendidikan. Sikap yang aktif, efektif dan menyenangkan dalam berkomunikasi akan memperlancar tugas supervisi. Sehinggak pencapaian target akan terealisasi dengan tepat.
d. Supervisor harus bersikap berani terhadap usaha intimidasi atau tekanan dari pihak lain dalam menjalankan tugas pengawasan dan pembinaan.
e. Supervisor dituntut bertanggung jawab atas hasil supervisi terhadap satuan pendidikan yang dibinanya. Pertanggungjawaban atas hasil kerja merupakan indikasi bahwa supervisor melakukan pembinaan dan pengawasan dengan baik kepada satuan pendidikan yang dibinanya.
5. Tipe Demokratis
Keterlibatan target supervisi sangat diandalkan dalam tipe supervisi demokratis. Hal utama yang ingin dituju adalah adanya kerjasama pembinaan antara supervisor dan target supervisor dan target supervisor. Langkah ini dilakukan agar target supervisi ikut merasakan sendiri terhadap program supervisi yang dijalankan kepadanya. Untuk itu, supervisor tidak boleh boleh bersifat otoriter dalam menjalankan kegiatan supervisi. Keseluruhan tipe supervisi demokratis ini difokuskan ke dalam satuan pendidikan meliputi manajemen kurikulum pembelajaran; kesiswaan; sarana prasarana; ketenagaan; keuangan; hubungan sekolah dengan masyarakat dan layanan khusus.
Daftar Rujukan:
1. Burhanuddin. 1994. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. (Jakarta: Bumi Aksara), hlm. 79
2. Ary H. Gunawan, Administrasi Sekolah (Administrasi Pendidikan Mikro) (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 196-198
3. A. Sitohang, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007), hlm. 206
4. Roben T. Kiyosi; Sharon L. Lechter, For People Who Like Helping People Delapan Nilai Tersembunyi dari Bisnis Pemasangan Jaringan Selain Memperoleh Uang (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 14
5. Depdiknas, Metode dan Teknik Supervisi (Jakarta: Depdiknas, 2008), hlm. 8
Akhmad Solihin October 28, 2015 CB Blogger IndonesiaTIPE-TIPE SUPERVISI PENDIDIKAN
Visiuniversal----Siapa sich yang tidak kenal dengan kue Rengginang! KUE Jajanan khas tradisional yang terkenal enak. Rengginang memang sangat digemari, bahannya pun murah dan membuatnya juga terbilang mudah.
Rengginang sendiri sudah ada sejak jaman dahulu kala. Orang-orang zaman dahulu mengonsumsi rengginang sebagai teman makan. Namun saat ini rengginang lebih banyak dimakan sebagai camilan, terutama dengan makanan tradisional lainnya seperti opak.
Rengginang yang sering kita kenal adalah terbuat dari ketan. Tetapi dalam seri keterampilan kali ini kita akan membuat rengginang singkong, karena ternyata selain dibuat dari ketan dan nasi, rengginang juga dapat dibuat dengan bahan dasar singkong.
Nah untuk warga-belajar yang ingin mencoba membuat rengginang dari singkong ini, pelajarilah bahan-bahan yang diperlukan dan alat-alat yang dipakai dalam proses pembuatannya. Adapun bahan-bahan dan langkah-langkah membuat rengginang singkong adalah sebagai berikut :
A. Bahan-bahan yang harus dipersiapkan :
1. Singkong 5 Kilogram
2. Tepung Tapiokan 1 Kilogram
3. Bawang 1/4 Kilogram
4. Ketumbar 3 sendok makan
5. Garam dan penedap rasa secukupnya.
B. Alat-alat yang diperlukan
1. Nyiru
2. Parutan
3. Tatakan gelas
4. Panci langseng
5. Penggiling daging
6. Suthil Plastik
C. Cara Pembuatan
1. Singkong dikupas dan dibersihkan
2. Singkong diselep atau diparut halus
3. Hasil parutan / selepan dimasukan ke dalam karung terigu, kemudian diperas hingga kadar air kurang lebih 60 %
4. Parutan singkong yang sudah diperas ditaburi tepung tapioka dan diaduk menjadi adonan
5. Adonan digiling dengan penggiling daging
6. Adonan yang sudah digiling diparut dengan parutan kasar
7. Hasil parutan diayak (diinteri) dengan hyiru hingga berbentuk butiran
8. Butiran dicetak dengan tatakan gelas, kemudian dikukus beserta cetakannya selama 15 menit.
9. Rengginang yang telah dikukus, dijemur dengan panas matahari selama 2 hari
10. Rengginang yang sudah kering dikemas dalam kantong plastik yang menarik.
D. Pemasaran
Rengginang dapat dipasarkan melalui warung, toko, pasar dan minimarket/supermarket.
Agar rengginang mudah laku, rasa dan kemasannya harus menarik. Ukuran kemasan dibuat bervariasi sesuai dengan daya beli konsumen misalnya dikemas dalam kemasan 1/4 kg, 1/2 kg dan 1 kg.
Demikian keterampilan cara membuat kue rengginang cara pemasarannya, semoga bermanfaat untuk bahan belajar dan berusaha untuk menambah penghasilan di rumah. Terimakasih.
Akhmad Solihin October 28, 2015 CB Blogger IndonesiaKETERAMPILAN: MEMBUAT KUE RENGGINANG SINGKONG
Sehubungan dengan peringatan Hari Aksara Internasional ke-50 ini, sambutan resmi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Peringatan Hari Aksara Internasional Tanggal 24 Tahun 2015, selengkapnya sebagai berikut :
Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi, Salam sejahtera untuk kita semua
Ibu dan Bapak hadirin yang saya hormati,
Mengawali sambutan ini, marilah kita senantiasa memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, atas perkenan rahmat dan hidayahNya, sehingga kita semua masih dikaruniai kesehatan, kekuatan dan kesempatan untuk terus melanjutkan pengabdian kita kepada bangsa dan negara tercinta.
Izinkan saya memulai pembicaraan dengan bertanya sebuah hal sederhana. “Berapa banyak penduduk kita yang bisa membaca saat para pendiri Republik menyatakan kemerdekaan?”
Pada saat kita dengan lantang berteriak merdeka, lebih dari 90 persen penduduk kita bahkan tak bisa menuliskan namanya sendiri. Maka bayangkan ketika Bung Karno mengatakan, “Beri saya sepuluh pemuda!” boleh jadi 9 dari 10 pemuda tersebut tak bisa mengeja namanya.
Fakta itu boleh jadi mencengangkan, tapi apa yang para pendiri Republik ini lakukan jauh lebih mencengangkan.
Usaha melawan ketidakterdidikan telah para pendiri Republik ini gaungkan bahkan sebelum Republik ini menyatakan kemerdekaannya. Ki Hadjar Dewantara dalam “Rapat Panitia Adat dan Tatanegara Dahulu” sebelum proklamasi mengatakan, “Sebenarnya dari pihak rakyat sendiri sudah sejak lama nampak usaha hendak memberantas buta huruf di kalangan rakyat ini.”
Ki Hadjar kemudian mencontohkan dari Kongres Putri sampai Rukun Tani melakukan kegiatan pengajaran membaca. Kesadaran akan pentingnya membaca bukan tiba-tiba hadir hari-hari ini, ia lahir bahkan sebelum proklamasi kita canangkan.
Ikhtiar itu terus kita bawa jauh setelah proklamasi. Saya ingat sebuah foto Bung Karno di depan spanduk saat ia bicara di Yogyakarta. Tulisan di spanduk itu tak seperti biasa. Spanduk itu dimulai dengan sebuah kata, “Bantulah”. Lengkapnya “Bantulah usaha pemberantasan buta-huruf !”.
Pemerintah membuka tangannya untuk bekerjasama. Mengajak berkolaborasi. Hasilnya dahsyat!
Gerakan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) yang Bung Karno canangkan menjadi gerakan semesta di lebih dari 18 ribu tempat, melibatkan lebih dari 17 ribu guru dan sekitar 700 ribu murid. Sampai tahun 1960 Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia harus terbebas dari buta huruf. Republik ini kemudian menjelma dari tak terdidik menjadi terdidik.
asan Buta Huruf (PBH) yang Bung Karno canangkan menjadi gerakan semesta di lebih dari 18 ribu tempat, melibatkan lebih dari 17 ribu guru dan sekitar 700 ribu murid. Sampai tahun 1960 Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia harus terbebas dari buta huruf. Republik ini kemudian menjelma dari tak terdidik menjadi terdidik.
Hadirin yang berbahagia,
Pekerjaan rumah bukan berarti telah selesai. Bung Karno dan seluruh elemen masyarakat telah mengantar kita pada gerbang keberaksaraan. Tapi, tugas tak selesai sampai di sini.
Pada tahun 2010 penduduk Indonesia usia 15-59 tahun yang melek aksara sekitar 95,21 persen. Angka ini kemudian naik pada tahun 2014 menjadi sebesar 96,3 persen. Angka tersebut menunjukkan keberhasilan kita memenuhi target Deklarasi Dakar tentang Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA) bahwa Indonesia dapat menurunkan separuh penduduk tuna aksara menjadi kurang dari 5 persen pada 2015. Tapi angka itu juga berarti masih ada sekitar 5,9 juta orang yang belum mampu mengeja dan menulis namanya sendiri.
Saat ini tercatat sebanyak 8 provinsi yang persentase tuna aksaranya masih di atas 5 persen. Angka-angka itu bukan sekadar deretan statistik buta huruf. Angka itu memberi pesan nyaring belum semua warga negeri ini bisa menuliskan “Indonesia” dalam secarik kertas.
Tantangan aksara bukan sekadar bisa membaca, tantangan keberaksaraan lebih besar dari itu. Jika kita lihat dalam konteks itu, maka bisa jadi angka “buta aksara” kita masih mengkhawatirkan.
Taufik Ismail, salah satu sastrawan kita, pada saat menerima Habibie Award tahun 2007 mengatakan bahwa kita masih diselimuti oleh “Generasi Nol Buku”. Generasi yang tak membaca satu pun buku dalam satu tahun. “Generasi yang rabun membaca dan lumpuh menulis.”
Kekhawatiran Taufik Ismail itu bukan kekhawatiran kosong belaka, sastrawan besar kita Buya Hamka pernah mengatakan, “Setiap insan perlu membaca buku, sebab pena seseorang tidak akan berisi kalau sekiranya dia kurang membaca”.
Pernyataan Taufik Ismail dan Buya Hamka seperti sebuah lonceng atas data Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 yang menyatakan bahwa kemampuan literasi (membaca dan menulis) siswa Indonesia jauh tertinggal. Indonesia jauh tertinggal.
Maka tugas kita jelas, “Generasi Nol Buku” ini harus kita ubah!
Keberaksaraan bukan sekadar mengubah yang tak bisa membaca menjadi bisa membaca, tetapi juga mendorong yang bisa membaca untuk terus membaca. Menjadi generasi yang menjelajah lewat aksara yang ia baca. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita bersama akan mengubah keadaan “Generasi Nol Buku” ini?
Ibu dan Bapak yang saya hormati,
Gerakan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) yang Bung Karno dan seluruh elemen masyarakat lakukan beberapa dekade silam sesungguhnya bukan hanya sebuah usaha mengurangi angka buta aksara. Gerakan ini mengirimkan satu pesan tegas pada kita semua.
Secara konstitusional pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, tapi secara moral pendidikan adalah tanggung jawab setiap orang yang terdidik. Maka kita harus mengubah perspektif dalam mendorong kualitas keberaksaraan kita. Meningkatkan keberaksaraan adalah gerakan bersama.
Pemerintah dalam hal ini Kemdikbud terus berikhtiar meningkatkan kualitas keberaksaraan kita. Kita juga mendorong percepatan program keberaksaraan pada daerah-daerah yang memiliki angka tuna aksara tinggi. Melalui “Afirmasi Pendidikan Keaksaraan Untuk Papua” (APIK PAPUA) kita melakukan percepatan peningkatan keberaksaan di daerah Papua.
Ikhtiar untuk meningkatkan keberaksaraan juga kita lakukan melalui Permendikbud No. 23 tahun 2015 mengenai Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). Salah satu poin utama dalam Permendikbud tersebut adalah semua warga sekolah baik siswa, guru, tenaga pendidikan, dan kepala sekolah wajib membaca buku selain buku teks pelajaran selama 15 menit sebelum hari pembelajaran.
Tujuannya jelas yakni menggiatkan budaya membaca dan menghapus “Generasi Nol Buku”. Tantangan keberaksaraan kita kini tentu berbeda dengan tantangan ketika kemerdekaan. Kita tak hidup dalam ruang vakum, maka persaingan dan tantangan era ini juga penting untuk kita jawab.
Salah satu kompetensi yang perlu kita dorong adalah manusia Indonesia yang memiliki kompetensi global dengan pemahaman akar rumput. Kemampuan berbahasa dan keberaksaraan adalah kendaraan bagi kita untuk menjawab kebutuhan manusia Indonesia masa depan.
Maka salah satu kompetensi yang harus kita siapkan adalah kemampuan berbahasa dan berkomunikasi untuk pergaulan di level global dan akar rumput. Minimal ada tiga bahasa yang harus kita kuasai yakni Bahasa Indonesia, bahasa internasional, dan bahasa daerah.
Saya sengaja menggunakan istilah bahasa internasional bukan sekadar Bahasa Inggris karena ini sangat tergantung dengan komunitas internasional mana yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing orang. Lewat bahasa internasional kita berkawan dengan komunitas global. Melalui bahasa daerah adalah kita memahami ragam kultur daerah, memahami akar rumput kita, dari mana kita berasal.
Menjawab tantangan keberaksaraan di era ini tentu tak bisa kita lakukan dalam satu dua malam. Perlu kerja ekstra keras dan konsisten dari setiap kita untuk mewujudkannya. Tugas kita bersama bukan meratapi keadaan yang ada, tugas kita bersama menjadi bagian dari solusi!
Ibu dan Bapak hadirin yang saya hormati, irin yang saya hormati,
Tentu menjadikan keberaksaraan sebagai gerakan bersama adalah ikhtiar kita bersama. Yang perlu kita jawab bersama adalah apa saja langkah-langkah konkret yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan keberaksaraan?
Setiap orang bisa ikut berkontribusi dengan langkah-langkah konkret berikut ini:
Pertama, setiap orangtua perlu mengenalkan aksara sejak dini. Mengenalkan aksara bukan berarti langsung kita mulai dengan mengajarkan membaca dan menulis.
Perkenalan pertama anak-anak kita pada aksara adalah dengan merangsang ketertarikannya pada bacaan. Orangtua bisa membacakan cerita untuk anak-anaknya. Praktik baik yang bisa kita lakukan adalah dengan memberikan alokasi waktu khusus membacakan cerita untuk anak.
Membacakan cerita mungkin terkesan sederhana. Tapi dari sana anak-anak kita akan berimajinasi. Ia akan tahu bahwa lewat aksara dirinya bisa mengenal dunia.
Kedua, sekolah perlu membuka diri menjadi agen perubahan keberaksaraan. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan berkolaborasi bersama warga sekitar untuk mengelola kegiatan membaca baik di perpustakaan atau fasilitas membaca yang sudah ada.
Perpustakaan sekolah perlu lebih terbuka dengan memberikan akses pada warga sekitar untuk ikut membaca dan beraktivitas di sana. Warga sekitar juga bisa berperan aktif menghidupkan perpustakaan dengan ikut bertukar bacaan, mengadakan kegiatan literasi bersama siswa dan guru di sekolah dengan melibatkan pegiat sastra lokal.
Lewat keterbukaan dan kolaborasi itu sekolah dan warga juga bisa ambil peran dengan menjadi balai pemberantasan buta aksara. Guru, kepala sekolah, warga, atau siswa berkolaborasi dengan pemangku kepentingan daerah bisa bergantian mengajar membaca bagi warga yang belum bisa baca tulis.
Perpustakaan dan sekolah yang lebih terbuka dan bersahabat adalah langkah penting menumbuhkan kecintaan aksara di lingkungan kita. Perpustakaan boleh sederhana, tapi kegiatan di dalamnya menghasilkan manfaat bagi banyak warga!
Untuk guru, saya berpesan satu hal, jadilah inspirator membaca. Jika guru aktif membaca maka muridnya pasti gemar membaca! Tugas kita adalah menimbulkan dan menumbuhkan kecintaan membaca. Kebiasaan membaca tumbuh karena kecintaan bukan karena paksaan.
Ketiga, ambil peran aktif dalam kegiatan menulis. Membaca dan menulis adalah padu padan roda peradaban. Lewat membaca, manusia menjelajah dunia tanpa batas, dengan menulis penjelajahan tersebut akan kita lestarikan.
Maka semua warga sekolah perlu mengaktifkan kegiatan menulis. Aktifkan majalah dinding sekolah, buat resensi atas buku yang warga sekolah baca, dan latih kemampuan menulis baik dengan praktik langsung atau melalui diskusi-diskusi sederhana di sekolah.
Upaya-upaya tersebut adalah praktik-praktik sederhana yang bisa kita lakukan. Kita percaya bahwa masingmasing kita punya beragam praktik baik yang bisa menjadi inspirasi.
Saya minta bagikan dan ceritakan praktik baik keberaksaraan yang sudah ibu dan bapak lakukan. Biarkan praktik baik itu jadi inspirasi untuk meningkatkan keberaksaraan di titik-titik penjuru negeri ini!
Ibu dan Bapak hadirin yang saya hormati,
Pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkan Saya menyampaikan rasa prihatin kepada masyarakat Indonesia yang tengah mengalami musibah bencana asap akibat kebakaran hutan di beberapa wilayah dibumi kita tercinta ini. Sesuai pesan Bapak Presiden RI, Kepada para Kepala Daerah yang wilayahnya terdampak bencana asap, bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah harus aktif terjun langsung ke lapangan memimpin pengendalian kebakaran dan mengatasi dampak kabut asap.
Bila kualitas udara sudah melebihi angka toleransi, Presiden RI menginstruksikan kepada Mendikbud agar menghentikan kegiatan pendidikan dan menyesuaikan standar pendidikan yang terhenti tersebut.
Presiden menggarisbawahi bahwa kebakaran hutan ini adalah masalah kita bersama. Untuk itu, Presiden mendukung berbagai bentuk inisiatif gerakan dalam masyarakat untuk terlibat langsung dalam memadamkan api maupun dalam mengatasi dampak kabut asap.
Ibu dan Bapak hadirin yang saya hormati,
Akhirnya sebagai penutup sambutan ini, Saya menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Gubernur Jawa Barat dan Bupati Karawang serta seluruh masyarakat Jawa Barat yang telah bersedia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Hari Aksara Internasional Tingkat Nasional Tahun 2015.
Saya ucapkan selamat dan penghargaan kepada para Gubernur/Bupati/Walikota yang mendapatkan Anugerah Aksara tahun ini, atas komitmen yang tinggi dalam menurunkan angka tuna aksara di wilayahnya. Ucapan selamat juga kepada para pimpinan lembaga/organisasi penyelenggara program PAUD dan Dikmas yang meraih juara lomba satuan PNF berprestasi, yang telah ikut mensukseskan gerakan nasional percepatan penuntasan tuna aksara dan gerakan berkolaborasi dengan masyarakat.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala upaya dan usaha kita dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita kemerdekaan kita.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Karawang, 24 Oktober 2015
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
ANIES BASWEDAN
SAMBUTAN MENDIKBUD PADA PERINGATAN HARI AKSARA INTERNASIONAL KE-50 TAHUN 2015
Secara awam masyarakat desa sering diartikan sebagai masyarakat tradisional dari masyarakat primitif (sederhana). Namun pandangan masyarakat tersebut sebetulnya kurang tepat, karena masyarakat desa adalah masyarakat yang tinggal di suatu kawasan/ wilayah/teritorial tertentu yang disebut desa. Sedangkan masyarakat tradisional adalah masyarakat yang masih memegang teguh tradisi leluhurnya dan masyarakat primitif adalah masyarakat yang penguasaan ipteknya rendah sehingga hidupnya masih sederhana dan belum kompleks. Memang tidak dapat dipungkiri masyarakat desa di negara sedang berkembang seperti Indonesia, ukurannya terdapat pada masyarakat desa yaitu bersifat tradisional dan hidupnya masih sederhana, karena desa-desa di Indonesia pada umumnya jauh dari pengaruh budaya asing/luar yang dapat mempengaruhi perubahan-perubahan pola hidupnya. Apalagi selama ini pembangunan cenderung dipusatkan ke kota-kota besar saja dan apabila ada pembangunan di desa presentasinya sangat kecil sehingga desa identik dengan keterbelakangan informasi dan teknologi
Ciri-ciri masyarakat desa antara lain :
- Anggota komunitasnya kecil
- Hubungan antar individu bersifat kekeluargaan
- Sistem kepemimpinannya informal
- Ketergantungan terhadap alam sangat tinggi
- Religius magis artinya sangat baik menjaga lingkungan dan menjaga jarak dengan penciptanya, cara yang ditempuh antara lain melaksanakan ritus pada masa-masa yang dianggap penting misalnya saat kelahiran, khitanan, kematian dan syukuran pada masa panen, bersih desa.
- rasa solidaritas dan gotong-royong tinggi
- kontrol sosial antara warga kuat
- Hubungan antara pemimpin dengan warganya bersifat informal
- Pembagian kerja tidak tegas, karena belum terjadi spesialisasi pekerjaan
- Patuh terhadap nilai-nilai dan norma yang berlaku di desanya (tradisi)
- Tingkat mobilitas sosialnya rendah
- Penghidupan utama adalah bertani.
2. Masyarakat Perkotaan
Membahas masyarakat perkotaan sebetulnya tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat desa karena antara desa dengan kota ada hubungan konsentrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial yang dinamakan urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota. Masyarakat perkotaan merupakan masyarakat urban dari berbagai asal/desa yang bersifat heterogen dan majemuk karena terdiri dari berbagai jenis pekerjaan/keahlian dan datang dari berbagai ras, etnis, dan agama.
Mereka datang ke kota dengan berbagai kepentingan dan melihat kota sebagai tempat yang memiliki stimulus (rangsangan) untuk mewujudkan keinginannya. Maka tidaklah aneh apabila kehidupan di kota diwarnai oleh sikap yang individualistis karena mereka memiliki kepentingan yang beragam. Lahan pemukiman di kota relatif sempit dibandingkan didesa karena jumlah penduduknya yang relatif besar maka mata pencaharian yang cocok adalah di sektor formal seperti pegawai negeri, pegawai swasta dan di sektor non-formal seperti pedagang, bidang jasa dan sebagainya. Sektor pertanian kurang tepat dikerjakan di kota karena luas lahan menjadi masalah apabila ada yang bertani maka dilakukan secara hidroponik. Kondisi kota membentuk pola perilaku yang berbeda dengan di desa, yaitu serba praktis dan realistis.
Ciri-ciri masyarakat kota (urban) antara lain :
- Kehidupan keagamaan berkurang, karena cara berpikir yang rasional dan cenderung sekuler
- Sikap mandiri yang kuat dan tidak terlalu tergantung pada orang lain sehingga cenderung individualistis
- Pembagian kerja sangat jelas dan tegas berdasarkan tingkat kemampuan/keahlian
- Hubungan antar individu bersifat formal dan interaksi antar warga berdasarkan kepentingan.
- Sangat menghargai waktu sehingga perlu adanya perencanaan yang matang
- Masyarakat cenderung terbuka terhadap perubahan
- Di daerah tertentu (slum) tingkat pertumbuhan penduduknya sangat tinggi
- Kontrol sosial antar warga relatif rendah
- Kehidupan bersifat non agraris dan menuju kepada spesialisasi keterampilan
- Mobilitas sosialnya sangat tinggi karena penduduknya bersifat dinamis, memanfaatkan waktu dan kesempatan, kreatif, dan inovatif.
3. Perbedaan Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan
No.
|
Aspek
|
Masyarakat Pedesaan
|
Masyarakat Perkotaan
|
1.
|
Lingkungan dan orientasi terhadap alam
|
Kenyataan alam sangat menunjang kehidupan
|
Cenderung bebas dari kenyataan alam
|
2.
|
Pekerjaan/mata pencaharian
|
Yang menonjol adalah bertani, nelayan, ternak
|
Beraneka ragam dan terspesialisasi
|
3.
|
Ukuran Komunitas
|
Lebih kecil dengan tingkat kepadatan rendah
|
Lebih besar dan kompleks dengan tingkat kepadatan tinggi
|
4.
|
Homogenitas/heter ogenitas
|
Homogenitas dalam ciri-ciri social, kepercayaan, bahasa, adat
istiadat
|
Heterogenitas dalam ciri-ciri sosial , kebudayaan, pekerjaan, dll
|
5.
|
Pelapisan social
|
Ukuran pada kepemilikan tanah, kepercayaan, bahasa, adat istiadat
|
Ukuran pada kekayaan materi, tingkat pendidikan, Kesenjangan social relative
besar
|
6.
|
Mobilitas social
|
Relatif kecil karena masyarakatnya homogen
|
Relatif besar karena masyarakatnya heterogen
|
7.
|
Interaksi sosial
|
Bentuk umum adalah kerjasama, konflik sedapat mungkin dihindari,
cenderung bersifat informal
|
Bentuk umum adalah persaingan, karena motif ekonomi, cenderung
bersifat formal
|
8.
|
Pengawasan sosial
|
Berpatokan pada adat istiadat,
Kebiasaan dan keyakinan
|
Bersifat formal dan menekankan pada kepatuhan hukum
|
9.
|
Pola Kepemimpinan
|
Kualitas pribadi ditentukan oleh kejujuran, kebangsawan, dan
pengalaman
|
Kualitas pribadi lebih ditentukan oleh system hirarki dan birokrasi
|
10.
|
Solidaritas Sosial
|
Sangat tinggi tampak dalam gotong-royong, musyawarah dalam berbagai
macam kegiatan
|
Solidaritas masih berorientasi pada kepentingan tertentu
|
11.
|
Nilai dan Sistem Nilai
|
Cenderung memegang tug, dan nilai agama, etika, dan moral.
|
Cenderung berorientasi pada ekonomi dan pendidikan.
|
Kehidupan masyarakat perdesaan berbeda dengan masyarakat perkotaan. Perbedaan yang mendasar berasal dari keadaan lingkungan yang mengakibatkan adanya dampak terhadap segi-segi kehidupan. Tabel di atas menggambarkan perbedaan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan.
PERBEDAAN MASYARAKAT DESA DAN MASYARAKAT PERKOTAAN
Dalam pemahaman umum, masyarakat modern adalah masyarakat yang hidup sejalan dengan perkembangan modernisasi dunianya. Unsur model dan pola-pola sosial yang bersifat kemajuan dari teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi dasar utama pekembangan masyarakat modern tersebut.
Secara garis besar ciri-ciri masyarakat modern (Soerjono Soekanto) antara lain:
- Bersikap terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru dan penemuan-penemuan baru
- Sikap menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang dihadapinya
- Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya
- Berorientasi ke masa kini dan masa yang akan datang
- Menggunakan perencanaan dalam segala tindakannya
- Yakin anak manfaat iptek
- Menghormati hak, kewajiban dan kehormatan pihak lain (HAM)
- Tidak mudah menyerah/ pasrah terhadap nasib (selalu berusaha untuk memecahkan masalah).
- Senantiasa memiliki informasi yang lengkap mengenai pendiriannya
- Yakin bahwa potensi yang dimilikiknya dapat dikembangkan.
Maka dari itu masyarakat modern adalah masyarakat yang optimis terhadap kehidupan ini. Kemajuan yang dicapai oleh masyarakat modern bukan berarti melupakan nilai-nilai luhur masa lalunya, karena pandangan modern adalah pandang yang melihat dari ukuran kesesuaian. Jadi nilai-nilai lama yang masih sesuai dan dianggap baik masih tetap dipertahankan dan nilai-nilai baru yang dianggap tidak sesuai akan dipergunakan. Hal ini terjadi karena masyarakat modern adalah masyarakat yang rasional.
Baca juga tentang masyarakat tradisional di sini !!
PENGERTIAN DAN CIRI-CIRI MASYARAKAT MODERN
Maka dari itu masyarakat tradisional cenderung bersikap tertutup dan menaruh curiga terhadap unsur-unsur budaya asing, karena dianggap dapat merusak keharmonisan hubungan antara sesama warga masyarakat. Adanya pelanggaran terhadap nilai dan norma yang berlaku akan mendapat reaksi keras dari anggota masyarakat karena kontrol sosial sesama warga masyarakatnya sangat kuat. Masyarakat tradisional cenderung bersikap primordial sehingga apabila terjadi pelanggaran terhadap tradisi akan mendapat sanksi dan pengucilan sampai dengan pengusiran. Sanksi bagi masyarakat tradisional tidak hanya berupa hukuman fisik, tetapi juga hukuman batin karena rasa ketergantungan antara anggota masyarakat kuat.
Masyarakat tradisional pada umumnya tinggal di daerah yang terisolir sehingga masyarakatnya dapat mempertahankan kebudayaannya dari pengaruh budaya luar, seperti tinggal di desa-desa sehingga ada yang menganggap masyarakat tradisional identik dengan masyarakat desa. Pandangan ini tidak seluruhnya benar karena dewasa ini banyak masyarakat desa yang telah maju (modern) dan pengertian desa menunjuk pada kriteria wilayah, bukan pada sikap semata.
Masyarakat tradisional kadang-kadang diartikan sebagai masyarakat primitif yaitu masyarakat dengan penguasaan teknologi yang masih rendah. Namun kenyataannya masyarakat tradisional seperti di Jepang dan Inggris telah memiliki teknologi yang tinggi namun masyarakatnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi. Demikian juga beberapa etnis di Indonesia, di satu pihak mereka telah memegang teguh tradisinya. Jadi ukuran masyarakat tradisional identik dengan masyarakat primitif kurang tepat.
Secara garis besar pada umumnya ciri-ciri masyarakat tradisional antara lain :
- Jumlah anggotanya relatif kecil sehingga hubungan antara warga masyarakat cukup kuat
- Masyarakatnya homogen dilihat dari keturunan, tradisi dan mungkin mata pencahariannya
- Memiliki orde (aturan) yang mengikat anggota masyarakatnya (dipatuhi)
- Bersikap tertutup dan cenderung cenderung curiga pada unsur budaya asing
- Kehidupan sosialnya cenderung statis (lambat untuk maju)
- Mobilitas sosialnya relatif rendah karena mereka sudah puas pada sesuatu yang telah dimilikinya.
- Hubungan emosional dengan alam tempat asal usul (kelahirannya) sangat kuat, dan alam dipandang sebagai sesuatu yang dahsyat dan tak terelakan sehingga manusia harus tunduk kepadanya.
- Sikap religius sangat kuat yaitu kepatuhan terhadap sesuatu yang menjadi kepercayaan (agama) sangat kuat.
Baca juga pengertian dan ciri-ciri masyarakat modern di sini !!